ABSTRAK Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana COVER Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana BAB 1 Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana BAB 2 Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana BAB 3 Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana BAB 4A Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC  BAB 4B Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC  BAB 4C Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC  BAB 5 Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana PUSTAKA Raphael Aswin Susilowidodo
PUBLIC yana mulyana
Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV) merupakan salah satu penyakit infeksi
yang penting karena tingkat prevalensinya yang tinggi dan penyebarannya sudah
ke seluruh dunia. Di samping itu HBV dan HCV dapat berkembang menjadi
infeksi kronis yang kemudian dapat berlanjut menjadi sirosis dan hepatoseluler
karsinoma (HCC). Sebagai standar terapi yang direkomendasikan oleh WHO
adalah menggunakan interferon baik sebagai monoterapi maupun kombinasi
dengan antivirus lain untuk meningkatkan efikasi dan mencegah resistensi. Oleh
karena interferon termasuk senyawa protein yang mempunyai masalah stabilitas
oleh berbagai faktor, baik faktor formulasi maupun faktor fisiologis (pH rendah
dan enzim), dan juga masalah absorpsi peroral, maka selama ini terapi
menggunakan interferon diberikan melalui rute parenteral. Berdasarkan
keterbatasan pada rute parenteral tersebut, maka pada penelitian ini telah
dikembangkan sediaan oral interferon - 2b dalam sistem emulsi nano spontan.
Penelitian diawali dengan melakukan over produksi skala laboratorium,
selanjutnya dilakukan proses scale up pada bioreaktor. Scale up bioreaktor pada
skala 10 liter dilakukan berdasarkan variabel koefisen transfer oksigen, kLA yang
bernilai sama antara skala laboratorium dan skala bioreaktor. Jika kLA sama maka
hasil yang diperoleh pada proses fermentasi akan sama tiap satuan volumenya.
Untuk menentukan kLA yang sama maka dilakukan proses optimasi dengan
mempertimbangkan berbagai parameter kritis yang berpengaruh terhadap proses
pada skala bioreaktor. Setelah mendapatkan nilai kLA, maka diperoleh parameter
kontrol proses berupa aerasi dan rpm. Selanjutnya dilakukan pula optimasi
berdasarkan waktu fermentasi yaitu 40, 60, 72, 80 dan 96 jam, untuk mendapatkan
jumlah interferon – 2b yang optimum.
IFN hasil over produksi diformulasikan pada emulsi nano spontan (SNEDDS)
sediaan oral, diawali dengan melakukan percobaan menggunakan minyak VCO
iii
dan asam oleat; surfaktan menggunakan 3 jenis yaitu Cremophor, Tween 20 dan
Tween 80; kosurfaktan menggunakan D-alpha tocopheryl polyethylene glycol
1000 succinate ( TPGS ). Fase dispersi padat terdiri dari interferondan
Hydrogenated Soy Phosphatidyl Choline ( SoyPC ) dibuat dengan melarutkan
keduanya dalam dapar fosfat kemudian dibekukeringkan pada suhu -30
C. Hasil
percobaan diperoleh tiga formula menghasilkan emulsi nano spontan berukuran
< 50 nanometer.
Berdasarkan hasil stabilita fisik produk pada berbagai kondisi penyimpanan yaitu
penyimpanan pada suhu 40
C selama 15 minggu, penyimpanan pada suhu 4
C
dan 25
C selama 60 minggu serta evaluasi kelarutan pada berbagai larutan
dengan pH bervariasi, terbukti bahwa ketiga formula relatif stabil. Dari ketiga
formula yang stabil tersebut, terdapat formula yang memiliki ukuran partikel
globul terkecil yaitu formula dengan komposisi VCO :Tween80 : TPGS = 1:8:1.
Pada pengamatan histologi jaringan dan cairan saluran cerna hewan percobaan
(mencit) dengan menggunakan mikroskop konfokal, SNEDDS yang dilabel
dengan FITC (Fluorescein-5-isothiocyanate) terbukti dapat berpenetrasi
melintasi membran saluran cerna. Proses absorpsi emulsi nano mengandung FITC
diikuti dengan mengamati sinyal berfluoresensi pada mikroskop konfokal pada
berbagai segmen saluran cerna pada periode waktu tertentu. Sediaan SNEDDS
secara cepat (5 menit setelah pemberian secara oral) masuk ke segmen usus
bagian atas hewan coba dan praktis tidak ada yang terdeteksi dalam segmen kolon
dalam waktu 120 menit setelah pemberian.
Dalam analisa dot blot terhadap serum hewan uji setelah pemberian IFN
SNEDDS oral,IFN non-SNEDDS oral dan IFN non-SNEDDS intravena,diketahui
bahwa dalam bentuk sediaan SNEDSS,IFN dapat diberikan oral dan dapat sampai
ke dalam system peredaran darah dalam jumlah yang cukup,sementara setelah
pemberian IFN non-SNEDDS secara oral,IFN tidak terdeteksi keberadaannya
dalam serum.
Berdasarkan evaluasi in vivo pada hewan percobaan (mencit) terbukti bahwa
sediaan oral SNEDSS dapat menghantarkan protein IFN melalui saluran cerna dan
terabsorpsi dalam darah serta diperoleh ketersediaan hayati absolut (F)0-T sekitar
124 %. Sementara ketersediaan hayati IFN non-SNEDDS oral(F)0-T sangat rendah
yaitu sekitar 24,45 %. Salah satu kemungkinan besar adalah karena IFN rusak di
dalam saluran cerna kalau tidak terlindungi.