ABSTRAK Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 1 Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 2 Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 3 Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 4 Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
BAB 5 Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
DAFTAR Zahrul Atharinafi
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
2020 TA PP ZAHRUL ATHARINAFI_LAMPIRAN.pdf)u
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Terbatas Yoninur Almira
» Gedung UPT Perpustakaan
» ITB
Selain faktor daya resapan air tanah dan curah hujan, perubahan guna lahan di daerah
sensitif, khususnya di daerah aliran sungai bagian hulu, berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat limpasan air permukaan. Tingginya limpasan air permukaan
menimbulkan peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian banjir. Banjir berdampak
negatif terhadap sosio-ekonomi masyarakat yang terdampak langsung. Oleh karena
itu, studi ini mencoba mengungkap bagaimana pola spasio-temporal perubahan guna
lahan dan pengaruhnya terhadap limpasan air permukaan pada kurun waktu 1998-
2018, serta implikasinya pada kebijakan tata ruang. Pengumpulan data sekunder dari
institusi terkait (misal. Bappeda, BMKG) dilakukan pada studi ini. Analisis spasial
dan analisis SCS – CN (bilangan kurva) digunakan untuk mengolah data guna lahan
dan limpasan air permukaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, terjadi kenaikan
limpasan air permukaan di sub – DAS Cirasea, dari 48.49 mm (1999), menjadi 51.81
mm (2018). Peningkatan limpasan air permukaan, utamanya terjadi akibat perubahan
guna lahan dari fungsi hutan menjadi kawasan pertanian. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Bandung 2016 – 2036, wilayah terjadinya perubahan guna lahan tersebut
telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung dan cagar alam, sehingga dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan guna lahan yang kemudian
mengakibatkan terjadinya peningkatan limpasan air permukaan di sub – DAS Cirasea.
Dengan diketahuinya kondisi tersebut, ada keperluan untuk mengembalikan lahan
hutan yang telah berubah menjadi guna lahan pertanian. Agroforestri merupakan salah
satu alternatif yang dapat direkomendasikan dalam rangka mengembalikan lahan
hutan. Dengan menerapkan agroforestri, kegiatan pertanian dapat dilakukan dengan
mempertahankan fungsi ekologis hutan, termasuk didalamnya pengendalian limpasan
air permukaan.