Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kejadian tuberkulosis (TB) yang tinggi.
Pengobatan TB merupakan terapi yang membutuhkan waktu lama dan menggunakan kombinasi obat
untuk penanganannya (obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap) sehingga kemungkinan terjadinya
reaksi obat merugikan (ROM) cukup besar. Terdapat kemungkinan terjadinya penghentian obat atau
ketidakpatuhan karena munculnya ROM pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
reaksi obat merugikan (ROM) dari obat anti tuberkulosis lini pertama, pola kejadian dari ROM,
penanganan terhadap ROM, dan hubungannya dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini merupakan
studi potong lintang yang dilakukan secara retrospektif dan konkuren melalui wawancara pada pasien
serta tenaga medis yang bertugas dan data rekam medik pasien di Poliklinik DOTS RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Teridentifikasi adanya reaksi obat merugikan (ROM) berupa mual dengan atau
tanpa muntah (41,75%), reaksi kulit (27,18%), nyeri sendi (14,56%), pusing (10,68%), DILI (4,85%),
dan gangguan penglihatan (0,97%). ROM cenderung lebih banyak terjadi pada pasien (74,47%)
dibanding dengan yang tidak mengalami ROM (25,53%). Penanganan terhadap ROM diantaranya
ialah dengan terapi setirizin (14,29%), reintroduksi dan setirizin (1,79%), reintroduksi dan kurkuma
(8,93%), reintroduksi, salep urea dan CTM (1,79%), permetrin dan setirizin (3,57%), ketokonazol dan
loratadin (1,79%), lotion asam salisilat (1,79%), talk asam salisilat (1,79%), omeprazol (21,43%),
antasida (4,65%), vitamin B6 (23,21%), parasetamol (3,57%), betahistin (7,14%), vitamin B kompleks
(1,79%) dan non farmakologi (3,57%). Asosiasi dari munculnya ROM dan kepatuhan pasien yang
dilakukan dengan metode khi-kuadrat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
munculnya ROM dengan kepatuhan pasien.Diduga hal ini dapat terjadi karena langkah –langkah
pencegahan ketidakpatuhan yang dilakukan tenaga kesehatan dipoliklinik DOTS sudah cukup efektif.
ROM pada pasien tuberkulosis merupakan hal yang sering terjadi dan langkah pencegahan
ketidapatuhan pada pasien perlu dilakukan dalam mengurangi angka ketidakpatuhan, putus obat dan
kemungkinan resistensi.