digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 1 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 2 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 3 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 4 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 5 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 6 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 7 Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2016 TA PP AMRON NAIBAHO BAB 8.pdf iu
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

PUSTAKA Amron Naibaho
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

Batik merupakan warisan budaya indonesia yang diyakini sudah ada pada abad ke-14 namun mulai populer dan diproduksi massal pada abad ke-18. Pada tahun 2009, UNESCO menobatkan batik menjadi salah satu World Heritage. Penobatan ini tentunya menggaungkan kembali nama batik di dunia internasional. Momentum ini seharusnya dimanfaatkan demi kepentingan bangsa Indonesia melalui peningkatan komersialisasi batik. Industri batik sebenarnya sudah ada dan berkembang di Indonesia selama lebih dari satu abad. Namun, seluruh proses produksi masih memanfaatkan metode-metode tradisional, misalnya pemanfaatan sinar matahari untuk pengeringan kain dan aktivasi warna untuk batik yang menggunakan indigosol, zat pewarna yang umum digunakan di industri batik nasional, sebagai zat pewarna. Saat ini, para produsen batik sudah menggunakan oven untuk mengeringkan kain ketika malam hari ataupun musim hujan tapi belum tersedia teknologi yang mampu menggantikan fungsi matahari dalam proses aktivasi warna batik. Hal ini berakibat pada penurunan kapasitas produksi batik di Indonesia yang besarnya bervariasi antara 20% sampai 50%. Pada tahun 2015, ditemukan bahwa spektrum sinar matahari yang berperan dalam proses aktivasi warna batik adalah sinar pada spektrum UV yang berarti bahwa fungsi matahari dapat digantikan oleh LED UV dan berbagai riset telah dilaksanakan guna mengembangkan temuan ini. Temuan inilah yang kemudian diterapkan untuk mendesain dan membangun suatu mesin yang diberi nama Mesin Batik Fotonik. Selama proses desain dan pembuatan mesin ini, pedoman Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT) yang telah dikeluarkan oleh Kemenristikdikti RI diaplikasikan untuk menjamin bahwa teknologi ini akan mampu memenuhi kebutuhan konsumen (dalam hal ini adalah para produsen batik nasional) dan semakin siap untuk dimanfaatkan secara massal untuk membantu para produsen batik nasional untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka. Salah satu fitur yang paling penting pada mesin ini adalah kemampuannya untuk melakukan produksi kain batik dengan ukuran 2 meter x 1,2 meter, ukuran kain yang umumnya diproduksi, dan kemampuan ini sudah dibuktikan melalui berbagi tes yang sudah dilaksanakan. Agar mampu melakukan fungsi ini, mesin yang dibangun dilengkapi dengan konveyor yang terbuat dari poliuretan dengan lebar 1,2m dan digerakan oleh sebuah motor AC dengan daya 150 W. Panel listrik juga dibuat untuk menyuplai listrik ke seluruh sistem. Kemudian, seluruh sistem dikontrol oleh sebuah panel pengontrol terpadu yang juga menyediakan tampilan antar-muka. Jika membandingkan perkembangan teknologi Mesin Batik Fotonik ini dengan kriteria-kriteria yang diberikan oleh Kemenristekdikti, dapat disimpulkan bahwa teknologi ini sudah memenuhi TKT level 7 (dari maksimal 9 level), yang berarti bahwa teknologi ini sudah semakin dekat ke desain final dan sudah siap untuk dilaksanakan LRIP (low rate initial production).