Kantor memiliki urgensi akan kebutuhan pencahayaan yang nyaman mengingat
pentingnya aktivitas visual yang mengharuskan penggunanya untuk bekerja di
dalam ruangan secara efektif dan efisien dengan durasi rata-rata 8 jam per hari.
Fenomena ruang yang terjadi di kantor adalah penataan layout ruangan yang
terbatas karena lebih mengutamakan daya tampung pekerja di dalam ruangan
tersebut. Akibatnya banyak ruang kantor yang tidak memperhatikan posisi jarak
dan sudut meja kerja terhadap bukaan pencahayaan. Hal ini dapat meningkatkan
potensi gangguan visual yang menyebabkan pengguna ruang menjadi tidak
nyaman dalam bekerja. Ketidaknyamanan tersebut berdampak pada menurunnya
produktivitas kerja pengguna. Dalam jangka panjang, apabila ketidaknyamanan
tersebut terus berlangsung dapat memicu terjadinya sick building syndrome.
Sebagai alternatif untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, konsep zona
adaptif dibahas melalui penataan layout dengan pengaturan jarak dan sudut bidang
kerja terhadap bukaan pencahayaan.
Penelitian ini merupakan pengembangan lanjutan dari road map penelitian zona
adaptif visual dengan pengaturan lokasi dan metode yang berbeda. Penelitian zona
adaptif visual sebelumnya masih terbatas pada lokasi di iklim sub tropis dengan
metode simulasi digital tanpa melibatkan responden. Penelitian ini menggunakan
gabungan antara respon pengguna melalui uji visual, pengukuran langsung, dan
simulasi digital. Uji visual dilakukan untuk mengetahui tingkat produktivitas kerja
menggunakan writing test pada kertas buram dengan durasi 1 menit. Pengukuran
illuminansi menggunakan lightmeter dan kamera DSLR dengan lensa fisheye
8mm. Simulasi digital dilakukan untuk mendapatkan nilai indeks silau DGP
menggunakan software AftabAlpha. Metode eksperimental digunakan dengan
sampel ruang kerja kantor yang memiliki bukaan kaca pada dinding sudut yang
menghadap utara dan barat di iklim tropis. Berbeda dari penelitian sebelumnya,
penelitian ini menguji zona adaptif pada 12 pengaturan sudut dan 3 pengaturan
jarak. Skenario pengaturan sudut dilakukan sepanjang sudut 360° dengan jeda per
skenario adalah 30°. Pengaturan jarak dilakukan pada 3 sampel yang terdiri dari
jarak 1 meter, 2,5 meter, dan 4 meter dari bukaan pencahayaan. Pengumpulan data
dilakukan selama 6 kali dalam bulan Maret, April, dan Mei.
Hasil penelitian pada studi kasus ini mengungkapkan bahwa, nilai indeks silau
DGP >0,25 tergolong dalam kategori tidak nyaman. Semakin dekat arah hadap
bidang kerja terhadap bukaan pencahayaan maka nilai indeks silau DGP semakin
tinggi. Penerapan zona adaptif dapat mereduksi gangguan visual secara signifikan
dengan menggeser bidang kerja sejauh 2,5 meter dan merotasi sudut bidang kerja
miring (30° dan 330°) atau membelakangi bukaan pencahayaan (0° dan 270°).
Selain pengaturan jarak dan sudut, ditemukan bahwa kontras antara pencahayaan
di area bidang kerja dan luasan sudut pandang merupakan faktor yang
menentukan tingkat kenyamanan visual dan produktivitas kerja. Alternatif
penerapan zona adaptif visual pada area ruang kerja kantor dengan jarak 1 meter
dari jendela, maka kombinasi pengaturan sudut yang terbaik adalah
menjauhi/tidak memiliki view langsung dengan jendela. Sedangkan area kerja
dengan jarak 2,5 meter dari jendela, dapat dikombinasikan dengan rotasi sudut
miring ±30°. Pada area kerja dengan jarak 4 meter dari jendela, maka pengaturan
sudut diarahkan mendekati/memiliki view langsung dengan jendela. Adanya
keterbatasan waktu dan sampel lokasi penelitian menyebabkan rekomendasi
penerapan zona adaptif visual ini akan lebih efektif diterapkan pada ruang kantor
dengan studi kasus serupa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan memperluas baik sampel lokasi maupun waktu pengukuran, sehingga
konsep zona adaptif visual sebagai alternatif dalam meningkatkan kenyamanan
visual dan produktivitas kerja dapat diterapkan secara empiris pada berbagai
alternatif ruang kerja kantor di iklim tropis sepanjang tahun.