digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


COVER Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

BAB 1 Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

BAB 2 Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

BAB 3 Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

BAB 4 Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

BAB 5 Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

PUSTAKA Fith Khaira Nursal
PUBLIC yana mulyana

Sistem penghantaran bahan aktif melalui kulit saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesat baik dibidang kosmetika maupun pengobatan. Penghantaran molekul aktif melalui kulit secara topikal, transkutan ataupun transdermal dibatasi oleh ukuran dan berat molekul serta afinitas molekul terhadap lapisan kulit yang tersusun atas komponen lipid. Secara teoritis, molekul hidrofilik akan mengalami hambatan permeasi kedalam lapisan kulit dan diperlukan satu teknik dalam penghantarannya. Melalui sistem solid-in-oil dispersion (SOD) hambatan tersebut berhasil diatasi dan telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa makromolekul hidrofilik protein, dapat dihantarkan melalui kulit dengan teknik SOD tersebut dalam sediaan nanoformulasi. Natrium askorbil fosfat (NAF) merupakan senyawa turunan vitamin C yang hidrofilik dengan nilai log P sangat rendah (10 -4 ) yang menyebabkan batasan permeasi melalui lapisan stratum corneum (SC). Diperlukan suatu teknik khusus untuk meningkatkan dispersibilitas NAF dalam minyak sebagai fasilitasi permeasi melewati lapisan SC. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan permeasi NAF melalui tahapan perbaikan dispersibilitas dalam minyak dengan teknik SOD dan selanjutnya dibuat nanoemulsi minyak dalam air (M/A). Peningkatan dispersibilitas NAF dalam minyak dapat dicapai melalui penaggunaan senyawa ampifilik, dalam penelitian ini digunakan lesitin (soy lecithin) dan polietilenglikol (PEG) 20000. Senyawa ampifilik dapat membentuk lapisan disekitar zat aktif yang hidrofilik sehingga terpartisi lebih kuat dalam fase minyak. Partisi yang tinggi dalam fase minyak akan memudahkan zat aktif untuk melintasi lapisan SC yang cenderung lipofil. Pembentukan SOD diawali tahapan pencampuran zat aktif dengan senyawa ampifilik, dan koliofilisasi. Telah dilakukan dua teknik yang berbeda dalam pembentukan SOD, yaitu kelompok I dibentuk melalui sistem larutan/dispersi NAF-lesitin dan NAF-PEG 20000 dalam air. Kelompok II dibentuk dengan diawali pembentukan emulsi A/M antaran NAF-VCO dan lesitin, dan divariasikan dengan penambahan Tween 80. Tahap selanjutnya masing-masing kelompok tersebut dikeringkan dengan metode freeze drying untuk menghilangkan air dari campuran. Hasil liofilisat I berupa serbuk putih (NAF-PEG 20000) dan karamel (NAF-lesitin), sementara liofilisat II berupa cairan berminyak. Karakterisasi kedua kelompok liofilisat kemudian ditentukan meliputi jumlah NAF yang terpartisi dalam fase minyak dari kedua sistem SOD yang terbentuk. Hasil liofilisat I diperoleh jumlah NAF dengan lesitin terpartisi dalam fase minyak sebesar 56,21%, lebih tinggi dibanding partisi NAF yang dicampurkan PEG 20000 yaitu sebesar 15,11%. Hasil partisi NAF dalam liofilisat II dari empat formula yang dibentuk, partisi dipengaruhi penambahan Tween 80 dan rasio lesitin-NAP dalam emulsi. Liofilisat dengan penambahan Tween 80 terpartisi dalam minyak adalah 37,22% dan 29,04%, lebih rendah dibanding liofilisat tanpa penambahan Tween 80 yaitu 66,85% dan 47,51%. Sebagai pembanding juga ditentukan partisi NAF yang dibuat larutan tanpa sistem SOD dengan senyawa ampifilik, dan hasilnya kurang dari 1% NAF yang terpartisi dalam minyak dan hampir 99% berada dalam fase air. Hal ini mengindikasikan bahwa lesitin dan PEG 20000 dapat berkontribusi dalam meningkatkan partisi NAF dalam fase minyak. Analisa liofilisat dengan Fourier Transmission Infra Red (FTIR) dilakukan untuk melihat interaksi NAF dengan senyawa ampifilik. Hasil spektrum menunjukkan interaksi antara NAF dengan lesitin dan PEG 20000 tidak membentuk senyawa baru, namun diduga terbentuk pasangan ion antara gugus fosfat NAF yang bermuatan negatif dengan muatan positif gugus kolin dari lesitin. Interaksi ini membuat muatan elektrostatika pada permukaan NAF-lesitin. Morfologi liofilisat juga diamati dengan Transmission Electron Microscopy (TEM) dan secara keseluruhan dalam liofilisat terlihat adanya lapisan lesitin pada permukaan NAF. Tahapan selanjutnya adalah menginkorporasi-kan liofilisat dalam sediaan nanoemulsi (NE) tipe minyak dalam air (M/A). Dibuat dua NE berdasarkan kelompok liofilisat. Terhadap NE I ditambahkan gliserin yang ditujukan untuk meningkatkan dispersibilitas liofilisat dalam fase minyak, karena liofilisat berupa padatan sehingga tidak mudah terdispersi dalam fase minyak. Liofilisat II diinkorporasikan tanpa penambahan gliserin dalam NE II. Penambahan gliserin dalam NE I berpengaruh signifikan terhadap kemampuan difusi NAF karena terjadi peningkatan kelarutan NAF dalam minyak. Secara fisik, NE I lebih jernih dibandingkan NE II yang diduga juga karena pengaruh gliserin tersebut. Pengamatan morfologi NE melalui TEM menunjukkan bahwa lesitin dalam sistem NE berada pada permukaan zat aktif NAF antara minyak-air. Uji stabilita secara fisik dengan mengukur diameter globul, indeks polidispersitas (IP) dan muatan potensial pada suhu kamar (±25 °C) dan penyimpanan dalam climatic chamber (±40 °C/RH 75%). Ukuran diameter globul NE I pada suhu kamar ± 100-200 nm dengan nilai IP 02-0,4. Diameter globul NE II berkisar ±150-170 nm dengan nilai IP 0,2-0,5. Tidak terdapat perbedaan bermakna dari diameter globul pada suhu kamar maupun indeks polidspersitas (P>0,05). Penyimpanan dalam climatic chamber menyebabkan peningkatan ukuran diameter globul karena pengaruh suhu yang memicu terjadinya mobilitas globul dan semua nilai berbeda bermakna (P<0,05) dan nilai IP 0,1-0,4 (tidak berbeda signifikan dengan P>0,05). Penentuan kadar zat aktif ditentukan dengan metode analisis yang telah divalidasi sebelumnya menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kadar menurun signifikan dalam kedua sediaan nanoemulsi pada penyimpanan suhu kamar dengan nilai P<0,05. Kadar NAP dalam NE II mengalami penurunan yang sistematik mulai selama 60 hari yaitu sebesar ± 58-68%. Studi penetrasi dilakukan melalui uji difusi in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan membran Spangler dan membran kulit ular jenis Phyton Reticulus. Hasil difusi NAF dalam NE I yang ditambahkan gliserin sebesar 10% meningkatkan difusi NAF hingga mencapai ±80% pada jam ke-6. Difusi NAF dalam NE II mencapai ±50% hingga jam ke-8 dan secara keseluruhan berbeda signifikan (P<0,05). Hasil difusi pada NE II membuktikan sistem SOD dapat meningkatkan difusi NAF ± 20% lebih tinggi dibanding NAF tanpa dibetnuk SOD. Hasil ini mendukung hipotesa bahwa lesitin dapat memperbaiki dispersibilitas NAP dalam minyak sehingga lebih mudah berpenetrasi ke dalam lapisan SC. Internalisasi sediaan terhadap sel fibroblast melalui pewarnaan fuorokrom nile-red membuktikan kemampuan sediaan dalam sistem NE dengan basis minyak, setelah melintasi lapisan SC dapat menembus dinding sel namun tidak masuk ke dalam inti sel. Pengujian aktivitas antikerut dilakukan terhadap subjek manusia dengan menggunakan dua sediaan yang dibuat SOD yaitu NE II (NE F3) dan NE tanpa SOD (NE NAF II). Terjadi penurunan nilai kerutan pada subjek setelah 28 hari penggunaan sediaan, namun tidak berbeda bermakna (P>0,05). Hasil pengujian lebih lanjut tidak ada perbedaan bermakna antara kedua sediaan tersebut terhadap penurunan nilai kerutan (P = 0,676).