digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Ektoin (asam 1,4,5,6-tetrahidro-2-metil-4-pirimidin karboksilat) adalah molekul organik kompatibel yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti farmasi, kosmetika, serta aplikasi bioteknologi. Molekul ini dapat melindungi sel serta biomolekul seperti protein dan membran sel dari berbagai stres lingkungan seperti tekanan osmosis, pemanasan, pembekuan, kekeringan, sinar UV, atau kontak dengan bahan toksik. Seiring meningkatnya permintaan pasar terhadap molekul aktif ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi ektoin dari mikroba potensial. Pengembangan produksi ektoin dilakukan baik dari mikroba yang secara alami mampu menghasilkan ektoin (wild type) maupun dari mikroba yang tidak mampu memproduksi molekul ini dengan menerapkan teknik rekayasa genetika. Selain itu, eksplorasi mikroba yang memiliki potensi unggul dalam produksi ektoin juga menjadi kecenderungan penelitian dewasa ini. Salah satu mikroba potensial penghasil ektoin adalah bakteri halofilik, kelompok ekstrimofilik yang dapat hidup di dalam lingkungan dengan kadar garam tinggi. Produksi ektoin oleh bakteri ini adalah sebagai salah satu strategi perlindungan sel terhadap tekanan osmosis yang disebabkan oleh kadar garam tinggi di dalam habitatnya. Beberapa bakteri halofilik telah diisolasi dari sampel air garam yang diperoleh dari Kawah Lumpur “Bledug Kuwu” yang berlokasi di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bakteri-bakteri halofilik yang diperoleh memiliki toleransi yang baik terhadap kadar garam (0,5-30% [b/v]). Karakteristik ini sangat mendukung untuk produksi ektoin. Untuk itu, penelitian ini dirancang untuk mengeksplorasi lebih lanjut potensi bakteri halofilik yang telah diperoleh dalam produksi ektoin. Penelitian dilakukan dalam empat tahap, pertama dilakukan seleksi bakteri penghasil ektoin berdasarkan toleransinya terhadap kadar garam tinggi, profil pertumbuhan, dan produksi ektoin per sel kering. Tahap kedua dilakukan optimalisasi produksi ektoin dari bakteri halofilik terbaik yang diperoleh dari tahap pertama. Pada tahap ketiga dilakukan produksi ektoin dari E. coli rekombinan yang membawa kelompok gen biosintesis ektoin (ectABC) yang diisolasi dari bakteri halofilik terbaik. Produksi ektoin oleh sel rekombinan kemudian dioptimalisasi. Pada tahap akhir dilakukan uji aplikasi ektoin sebagai penstabil lipase terhadap pemanasan, metanol, dan garam. Hasil uji potensi menunjukkan lima bakteri halofilik, yaitu: isolat BK-AB12, BK- AG13, BK-AB18, BK-AG18, dan BK-AG25 mampu memproduksi ektoin dengan produktivitas masing-masing sebesar 33,65; 8,21; 10,31; 9,71; dan 61,73 mg ektoin/g sel kering. Berdasarkan hasil tersebut, isolat BK-AG25 adalah bakteri penghasil ektoin terbaik dan dipilih untuk tahap selanjutnya. Hasil identifikasi menggunakan urutan gen 16s rRNA menunjukkan isolat BK-AG25 memiliki kedekatan homologi dengan Halomonas elongata. Untuk itu, isolat ini selanjutnya diberi nama Halomonas elongata BK-AG25. Optimalisasi produksi ektoin dari H.elongata BK-AG25 dilakukan melalui kultivasi dua tahap, pertama untuk meningkatkan kadar biomassa (densitas sel) dan kedua untuk meningkatkan produksi ektoin. Optimalisasi produksi biomassa pada kultivasi pertama dilakukan dengan response surface methodology (RSM) terhadap faktor-faktor: kadar glukosa, (NH4)2SO4, MgSO4, NaCl dan temperatur inkubasi. Hasil percobaan menghasilkan model regresi yang menunjukkan bahwa produksi biomassa optimal diperoleh jika bakteri diinkubasi pada temperatur 37,4 °C di dalam media MM63 dengan kadar NaCl, glukosa, (NH4)2SO4 dan MgSO4 masing-masing sebesar 8,9% [b/v]; 1,1% [b/v]; 0,37% [b/v]; dan 0,04% [b/v]. Kultivasi bakteri pada kondisi tersebut menghasilkan biomassa dengan kadar sebesar 4,92 + 0,028 mg/mL Pada kultivasi kedua, H. elongata BK-AG25 diinokulasi pada media MM63 yang telah dioptimalisasi tapi mengandung kadar NaCl yang lebih tinggi untuk menstimulasi biosintesis ektoin. Optimalisasi produksi ektoin pada kultivasi kedua dilakukan dengan RSM terhadap dua parameter, yaitu kadar NaCl dan temperatur inkubasi. Berdasarkan model regresi yang diperoleh dari data percobaan, bakteri diprediksi menghasilkan ektoin dengan kadar dan produktivitas optimum pada kadar NaCl 18% [b/v] dan temperatur 33 °C. Hasil percobaan pada kondisi tersebut mampu menghasilkan ektoin dengan kadar 1,17 + 0,015 g/L dan produktivitas sebesar 179,9 + 8,52 mg ektoin/g sel kering. Selanjutnya, optimalisasi kadar glukosa dan waktu inkubasi berhasil meningkatkan produksi ektoin dari bakteri menjadi 1,57 g/L dengan produktivitas sebesar 269 mg ektoin/g sel kering pada kadar glukosa optimum sebesar 0,8% [b/v] dan waktu inkubasi 35 jam. Setelah optimalisasi kondisi untuk biosintesis ektoin dari H. elongata BK-AG25, langkah selanjutnya adalah optimalisasi ekstraksi ektoin menggunakan teknik osmotic shock dan “bacterial milking”. Bakteri ditumbuhkan dengan teknik kultivasi dua tahap yang telah dioptimalisasi sebelumnya. Sel bakteri kemudian dipindahkan secara aseptik ke dalam air steril yang mengandung garam dengan kadar rendah (osmotic downshock) untuk menstimulasi ekskresi ektoin. Dengan teknik ini, sekitar 80% ektoin diekskresikan ke luar sel. Ketahanan sel bakteri setelah proses osmotic downshock menggunakan air dengan kadar NaCl 1,5% dan 3% cukup tinggi (di atas 70%), namun pada kadar NaCl 0% bakteri hanya mampu mempertahankan sekitar 9% selnya. Setelah proses osmotic downshock, sel bakteri diinokulasi kembali di dalam media MM63 yang mengandung kadar garam tinggi (osmotic upshock) untuk sintesis ektoin. Proses osmotic upshock dan osmotic downshock diulang beberapa kali untuk menghasilkan lebih banyak ektoin, dikenal dengan nama “bacterial milking”. Data penelitian menunjukkan empat siklus “bacterial milking” dari bakteri mampu menghasilkan total ektoin sekitar 2,26 g/L. Selain dari kultur alami H. elongata BK-AG25, produksi ektoin juga dikembangkan menggunakan bakteri non halofilik rekombinan yang membawa kelompok gen yang mengkode enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis ektoin. Kelompok gen biosintesis ektoin (ectABC) dari H. elongata BK-AG25 telah berhasil diamplifikasi dengan panjang total 2.438 pasang basa (pb), terdiri dari gen ectA (579 pb), ectB (1.266 pb) dan ectC (414 pb) yang tersusun dalam satu operon. Operon disisipkan ke dalam vektor ekspresi pET30a(+) dan ditransformasi ke dalam sel E. coli BL21 (DE3). Sel rekombinan ditumbuhkan di dalam media LB dan ekspresi operon diinduksi dengan IPTG. Ketiga gen dalam operon ectABC berhasil diekspresikan oleh sel rekombinan, dua gen (ectA dan ectB) diekspresikan secara kuat, sementara ectC terekspresi secara lemah. Produksi ektoin dari sel rekombinan kemudian diuji menggunakan media MM63. Hasil uji menunjukkan E. coli rekombinan mampu memproduksi ektoin dan sebagian besar (> 70%) diekskresikan ke luar sel. Inkubasi sel rekombinan selama 14 jam setelah induksi mampu menghasilkan ektoin ekstraseluler sebanyak 0,23 g/L dengan produktivitas sebesar 69 mg ektoin/g sel kering. Ini merupakan laporan pertama tentang ekspresi kelompok gen biosintesis ektoin dari Halomonas elongata di bawah kontrol promotor T7 pada sel E. coli BL21. Produksi ektoin dari E. coli rekombinan selanjutnya dioptimalisasi. Optimalisasi kadar glukosa dan NaCl di dalam media MM63 serta temperatur inkubasi menghasilkan model regresi untuk kadar ektoin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan oleh sel rekombinan. Model regresi menunjukkan kadar ektoin ekstraseluler optimal diperoleh pada kadar glukosa 0,92% [b/v], kadar NaCl 0,28% [b/v], dan temperatur inkubasi 34 °C. Hasil percobaan pada kondisi tersebut menghasilkan ektoin ekstraseluler dengan kadar sebesar 0,37 + 0,027 g/L. Sementara itu, ektoin intraseluler dengan kadar sebesar 0,05 + 0,005 g/L dihasilkan oleh sel rekombinan pada kadar NaCl 1,78% [b/v] dan temperatur 32 °C. Optimalisasi produksi ektoin dari E. coli rekombinan juga dilakukan pada nilai OD kultur sebelum induksi dan konsentrasi akhir senyawa penginduksi (IPTG), menghasilkan model regresi untuk kadar ektoin ekstraseluler dan produktivitas bakteri. Hasil prediksi model regresi menunjukkan sel rekombinan menghasilkan ektoin ekstraseluler optimal pada OD awal kultur 0,74 dan konsentrasi akhir IPTG 0,62 mM. Selain itu, produktivitas sel rekombinan terbaik diperoleh pada OD awal kultur sebesar 0,3 dan konsentrasi akhir IPTG 1,5 mM. Pada kondisi optimum tersebut, sel rekombinan mampu menghasilkan ektoin ekstraseluler dengan kadar 0,71 + 0,03 g/L dan produktivitas bakteri sebesar 376 + 2,3 mg ektoin/g sel kering. Selanjutnya, optimalisasi waktu inkubasi berhasil meningkatkan kadar ektoin ekstraseluler yang dihasilkan oleh sel rekombinan menjadi 0,75 g/L dengan produktivitas sebesar 418 mg ektoin/g sel kering setelah diinkubasi selama 12 jam. Ektoin yang dihasilkan oleh H. elongata BK-AG25 diaplikasikan sebagai penstabil lipase. Hasil percobaan menunjukkan ektoin mampu mempertahankan bahkan meningkatkan aktivitas katalitik lipase setelah dipanaskan atau diinkubasi di dalam pelarut metanol. Penambahan 60-150 mM ektoin mampu meningkatkan aktivitas lipase hingga 20% setelah dipanaskan selama 1 jam pada temperatur di bawah 80 °C. Sementara itu, aktivitas lipase yang ditambahkan 40-125 mM ektoin juga berhasil ditingkatkan hingga 50% setelah diinkubasi selama 1 jam di dalam metanol dengan kadar hingga 78% [v/v].