digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2019_DIS_PP_KHARISTA_ASTRINI_SAKYA_1.pdf
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

Pengembangan lebih lanjut dari konsep desain interior adalah merancang ruang tidak hanya sebatas mendesain fisik saja, akan tetapi perlu memikirkan interioritas.Interioritas bukan hanya konsep spasial, akan tetapi ruang yang awalnya tidak menyatu dapat menjadi satu antara tubuh, pikiran dan ruang. Interioritas adalah kehadiran diri yang dapat membuat rasa nyaman pada dirinya sendiri ketika berada di dalam ruang.Interioritas sangat dibutuhkan untuk memunculkan interaksi pengguna dengan ruang agar dapat melakukan aktifitas dengan sebaik-baiknya. Interioritas menjadi penting ketika direlasikan dengan masalah perilaku anak autis agar dapat maksimaldalam perkembangannya sehingga dapat menjalani kehidupan sehari-hari. Jumlah kasus autisdan tempat terapi mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Autis dapat dijelaskansebagai individu yang mengalami masalah dalam berinteraksi dan berkomunikasi khususnya sulit melakukan kontak mata dengan yang lain. Perilaku yang dimiliki oleh penyandang autis sangat beragam, tergantung dari berat ringannya gejala, fungsi berpikir yang mereka miliki dan jenis gangguannya. Fasilitas untuk autis berupa layanan terapi dan sekolah pendidikan di Bandung saat ini sudah mencukupi tetapi belum dilakukan penelitian akan kebenaran ruang terapi yang sesuai dan dibutuhkan anak autis. Padahal lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan dan perilaku anak autis. Tujuan mengubah perilaku anak autis adalah agar bisa menyesuaikan diri dengan rangsang / stimulus yang ada di lingkungan dan memperbaiki interaksi anak. Anak autis belum memiliki kemampuan imitasi, padahal imitasi adalah awal dari seseorang untuk bisa meniru dari perilaku yang muncul (awal fase perkembangan). Apabila imitasi mulai berfungsi, maka anak autis mulai bisaberpikir asosiatif dan berkembang menjadi kemampuan berpersepsi. Pada akhirnya anak dapat berinteraksi sosial dan beradaptasi dengan masyarakat. Sulit fokus merupakan hambatan ketika menjalani proses terapi di dalam ruang karena penyandang autis memiliki perilaku yang khas seperti mudah terdistraksi dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor yang muncul dalam diri anak, sementara faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar individu misalnya keadaan ruang ketika proses terapi berlangsung dan lingkungan sekitar sehingga proses terapi menjadi terhambat dan sulit dilaksanakanapabila tidak terjadi interaksi antara anak autis dengan ruang Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku anak autis di dalam ruang ketika proses terapi kemampuan imitasi, menemukan faktor yang berpengaruh untuk mengurangi tingkat distraksi pada proses terapi kemampuan imitasi anak autis di ruang terapi, memahami proses interioritas (penyatuan diri antara anak autis dengan ruang) ketika proses terapi kemampuan imitasi. Metode yang digunakan adalah metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Eksperimen dilakukan dalam dua tahap yaitu pretest dan posttest one group design sehingga didapatkan suatu hasil tingkat distraksi dan kemampuan imitasi yang dapat dibandingkan pada ruang eksperimen yang berbeda. Eksperimen kemudian akan diinterpretasikan dan dikonfirmasi kepada narasumber untuk mengetahui mengenai faktor lain yang mendukung. Teknik pengumpulan data dilakukan secara sequencial (berurutan) dengan cara observasi dari sudut pandang peneliti, pengamatan perilaku spasial anak autis dengan bantuan videografi (gerakan mata dan sikap tubuh, pola gerak), mencaritahu interioritas, menghitung frekuensi tingkat distraksi, nilai kemampuan imitasi dan perhitungan data kuantitatif menggunakan uji statistik. Hasil penelitian dapat menjawab pertanyaan penelitian dan hipotesis. Pertama, perilaku anak autis di dalam ruang cenderung bergerak aktif karena terdapat banyak objek distraktif, sehingga anak perlu mengawalinya dengan fase adaptasi terlebih dahulu sebelum proses terapi, dalam hal ini interior berperan sebagai pra–terapi. Kedua, faktor yang berpengaruh untuk mengurangi tingkat distraksi pada proses terapi kemampuan imitasi anak autis di dalam ruang adalah interioritas pada ruang, sensitifitas anak, proses adaptasi, pengenalan diri, pola perilaku / periaku spasial, ketertarikan pada elemen interior, distraksi, proksemik dan perbandingan antropometri anak dengan furnitur. Ketiga, terdapat temuan berupa fase / proses peningkatan kemampuan imitasi terhadap interioritas (indikator perilaku interioritas) yang dapat menjelaskan bahwa peran interioritas ketika proses terapi kemampuan imitasi dapat mengurangi distraksi sehingga anak menjadi fokus, merasa nyaman ketika terapi dan dapat meningkatkan kemampuan imitasi. Hipotesis penelitian dapat dibuktikan bahwa elemen –elemen ruang dapat menjadi objek distraktif pada anak autis (merupakan faktor penghambat untuk fokus dalam proses terapi kemampuan imitasi). Penggunaan objek reflektif dapat membantu proses penyatuan diri antara anak autis dengan ruang. Interioritas (bersatunya diri anak autis dengan ruang) menyebabkan timbulnya rasa nyaman pada ruang sehingga dapat meningkatkan fokus ketika melakukan proses terapi kemampuan imitasi (interioritas)