digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2013_DIS_SUWANDRI_1-ABSTRAK.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-COVER.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-BAB1.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-BAB2.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-BAB3.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-BAB4.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-BAB5.pdf
PUBLIC Latifa Noor

2013_DIS_SUWANDRI_1-PUSTAKA.pdf
PUBLIC Latifa Noor

Cryptocarya termasuk salah satu genus dari famili tumbuhan Lauraceae yang tersebar di wilayah tropika dan subtropika antara lain Asia, Australia dan Melanesia. Di Indonesia, Cryptocarya dikenal sebagai ”medang” atau ”huru”, masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan bangunan, bahan perabot, dan bahan baku pulp pada industri kertas sehingga memiliki nilai ekonomi yang penting. Dalam pemanfaatan yang lain, beberapa spesies Cryptocarya telah digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit kulit, nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, mual, infeksi karena jamur, dan bakteri. Kegunaan kelompok tumbuhan ini telah menjadi pendorong kajian- kajian fitokimia terhadap genus ini. Kajian fitokimia menunjukkan bahwa genus Cryptocarya menghasilkan berbagai jenis metabolit sekunder, yang meliputi alkaloid, 2-piron, flavonoid, lignan, terpenoid dan steroid. Keragaman kandungan metabolit sekunder tersebut telah menjadikan tumbuhan genus ini tidak homogen. Alkaloid dan 2-piron merupakan ciri yang cukup menonjol pada tumbuhan Cryptocarya. Alkaloid merupakan salah satu ciri pada kelompok tertentu Cryptocarya, terutama yang berasal dari Australia. Selain alkaloid, ciri lain yang menonjol adalah metabolit sekunder turunan 2-piron dan flavonoid. Kedua kelompok metabolit sekunder yang ditemukan pada genus ini dapat disarankan berasal dari jalur yang sama, yaitu jalur C6-C3-oligoketida (nC2), dimana flavonoid merupakan salah satu produk senyawa dari jalur tersebut, yaitu C6-C3- triketida (C6), kecuali tumbuhan C. massoi menghasilkan senyawa 2-piron yang murni dari jalur ketida (nC2). Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa tumbuhan Cryptocarya Indonesia lebih banyak menghasilkan turunan 2-piron, flavonoid, dan lignan. Cryptocarya Indonesia yang menghasikan alkaloid tampaknya tidak memiliki ciri khas secara geografis dan relatif sangat terbatas. Keberadaan alkaloid di satu sisi, dan 2-piron dan flavonoid di sisi yang lain tidak terjadi pada satu spesies yang sama. Dengan kata lain, spesies penghasil alkaloid sebagai metabolit utama, maka spesies tersebut tidak menghasilkan senyawa turunan 2-piron dan flavonoid, dan kalaupun dihasilkan oleh tumbuhan tersebut, keberadaan metabolit sekunder tersebut hanyalah sebagai metabolit minor, dan juga berlaku sebaliknya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada penelitian ini telah dilakukan kajian fitokimia pada empat spesies tumbuhan Cryptocarya Indonesia, yaitu C. archboldiana, C. crassinerviopsis, C. palawanensis, dan C. subvelutina. Selain itu, juga dikaji sifat sitotoksik senyawa hasil isolasi terhadap sel murin leukemia P-388 serta mengungkapkan hubungan antara struktur senyawa dengan bioaktivitasnya. Kulit batang C. crassinerviopsis dan C. subvelutina dikumpulkan dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Sementara itu, kulit batang C. archboldiana dikumpulkan dari Merauke, Papua sedangkan C. palawanensis dikumpulkan dari Halmahera, Maluku Utara. Isolasi metabolit sekunder pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap pekerjaan, yang meliputi tahap ekstraksi, fraksinasi dan pemurnian senyawa dengan menggunakan berbagai teknik kromatografi. Struktur molekul senyawa hasil isolasi ditetapkan berdasarkan analisis data spektroskopi, yang meliputi spektroskopi UV, NMR 1D, NMR 2D serta spektroskopi massa. Sementara itu, uji sitotoksik terhadap sel murin leukemia P-388 menggunakan metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazo-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida]. Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi sepuluh senyawa murni, termasuk diantaranya satu senyawa baru, yaitu asam kriptokrasinerviopsilat (1). Sembilan senyawa lainnya merupakan senyawa yang telah dikenal, yang meliputi dua senyawa flavanon, yaitu pinosembrin (2) dan pinostrobin (3); dua senyawa calkon, yaitu kriptokaryon (4) dan kurzicalkolakton A (5); satu senyawa alkaloid benziltetrahidroisokuinolin, yaitu retikulin (8); serta empat senyawa alkaloid aporfin, yaitu laurolitsin (6), boldin (7), nandigerin (9) dan N-metilnandigerin (10). Penemuan senyawa baru asam kriptokrasinerviopsilat (1) yang tidak ditemukan pada tumbuhan lain, merupakan data kimiawi yang penting pada tumbuhan Cryptocarya dengan diungkapnya kerangka tetrasiklik yang unik, yaitu tetrasiklo[5.3.14,10.06,8]undek-2-en tanpa keraguan berdasarkan data spektrosopi NMR yang meliputi 1H, 13C, ADEQUATE, TOCSY1D, HSQC, HMBC, dan NOESY. Uji aktivitas sitotoksik senyawa hasil isolasi terhadap sel murin leukemia P-388 mempelihatkan bahwa hanya kriptokaryon (4) yang menunjukkan sifat sitotoksik yang sangat aktif, sedangkan sembilan senyawa lainnya memiliki sitotoksik rendah bahkan tidak aktif. Kajian hubungan struktur dan sitotoksitas menunjukkan bahwa adanya unit tetrahidrobenzofuran (cincin lakton) serta cincin A yang tereduksi pada senyawa calkon, yaitu kriptokaryon (4) dapat menyebabkan sifat sitotoksik yang sangat kuat terhadap sel murin leukemia P-388. Berdasarkan hasil uji aktivitas di atas, dapat disimpulkan juga bahwa golongan flavonoid khususnya calkon memiliki aktivitas sitotoksik lebih tinggi terhadap sel murin leukemia P-388 dibandingkan golongan alkaloid dan asam karboksilat. Penemuan-penemuan yang diperoleh pada penelitian ini memperlihatkan bahwa Cryptocarya bukan saja sebagai penghasil alkaloid, flavonoid, dan 2-piron, melainkan juga turunan asam karboksilat poliena rantai panjang (asam kriptokrasinerviopsilat (1)), yang merupakan perluasan dari jalur poliketida, dan memiliki arti yang penting pada kekerabatannya dengan genus Persea dan Litsea. Penemuan turunan flavanon sederhana, pinosembrin (2) dan/atau pinostrobin (3), bersama dengan asam kriptokrasinerviopsilat (1) di satu sisi, dan dengan kriptokaryon (4) dan kurzicalkolakton A (5) di sisi yang lain, tanpa adanya alkaloid yang terdeteksi, memperlihatkan pada tumbuhan Cryptocarya Indonesia terjadi perubahan dari pembentukan alkaloid ke pembentukan metabolit sekunder lain yang melibatkan jalur poliketida. Dengan ditemukannya alkaloid pada tumbuhan C. archboldiana dan C. subvelutina, yang berasal dari wilayah timur Indonesia, memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan Cryptocarya yang tumbuh di Australia.