digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut selalu dikaitkan dengan peningkatan rasio ketergantungannya terhadap penduduk usia produktif. Upaya peningkatan kualitas hidup lansia merupakan salah satu cara untuk mengurangi tingkat ketergantungan tersebut. Studi mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah hubungan keluarga. Rumah adalah wadah di mana interaksi keluarga ini terjadi secara rutin di dalam kehidupan sehari-hari. Studi mengenai hal ini masih sangat sedikit dilakukan, maka tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi interaksi yang terjadi pada lansia dan anak dan bagaimana kriteria hunian yang mewadahinya. Lebih lanjut, tesis ini akan mengidentifikasi hubungan antara interaksi lansia dan anak dan kriteria huniannya. Pendekatan dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap kualitatif dan kuantitatif. Metode Grounded Theory digunakan pada tahap kualitatif. Pengumpulan data dilakukan pada dua puluh orang lansia Etnis Tionghoa kelas menengah ke atas di Kota Bandung, yang dipilih secara purposive dan snowball sampling dengan batasan usia antara 45 sampai dengan 74 tahun. Analisis data dilakukan dengan memilih (sorting), mengelompokkan (coding), dan membandingkan kategori yang didapatkan terhadap teori (theorytical interation). Bentuk interaksi lansia dan anak pada lansia Etnis Tionghoa di Kota Bandung setidaknya terbagi menjadi tujuh, yaitu: asertif, agresif, kohesi, apresiasi, empati, praktis, dan edukatif. Kriteria hunian untuk lansia setidaknya terbagi menjadi sebelas kategori, yaitu ruang yang aman, nyaman, dan menjamin keselamatan; kemudahan lansia mengakses pelayanan pendukung; ruang yang menunjang teritori personal; kedekatan ruang pada hunian lansia; komunitas lansia yang saling terkait; kemudahan lansia mengakses alam sekitar; dan ruang yang memberikan kepekaan dan pemahaman orientasi lansia. Hasil dari tahap kualitatif ini perlu diverifikasi untuk menghindari hasil yang bias. Maka, metode kuantitatif digunakan dengan instrumen berupa kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan pada kuesioner ini berasal dari kata-kata kunci yang muncul pada tahap kualitatif. Tahap pilot melibatkan dua puluh responden lansia kelas menengah ke atas yang tinggal di Kota Bandung dan berikutnya kuesioner yang telah dievaluasi dibagikan kepada 157 responden. Analisis alfa crombach menunjukkan seluruh variabel yang digunakan dapat dipercaya. Analisis varimax rotation mengungkap bahwa terdapat enam kategori interaksi lansia dan anak dan lima kriteria hunian lansia. Interaksi lansia dan anak adalah apresiasi, motivasi, partisipasi, eksistensi, identifikasi, dan finansial. Kriteria hunian lansia adalah fitur yang sesuai dengan standar perancangan hunian lansia, jarak lingkungan penunjang yang sesuai untuk lansia, lingkungan sosial yang baik bagi lansia, tipologi hunian yang cocok untuk lansia, kedekatan tinggal antara lansia dan anak. Dari seluruh kriteria yang terungkap, ternyata aspek kedekatan tinggal antara lansia dan anak adalah satu hal yang belum pernah diangkat sebagai kriteria perancangan hunian lansia sebelumnya. Kedekatan tinggal (proksimitas) lansia dan anak memiliki tiga skala, yaitu sangat dekat, dekat, dan tidak berdekatan. Skala sangat dekat digunakan pada kondisi lansia tinggal serumah bersama dengan anak pada lantai yang sama. Skala dekat digunakan pada kondisi lansia tinggal serumah pada lantai yang berbeda, bersebelahan, dan berdekatan walaupun tidak bersebelahan dengan anaknya. Skala tidak berdekatan digunakan pada kondisi lansia tinggal satu kecamatan, berbeda kecamatan, berbeda kota, dan berbeda negara. Ternyata ketika seorang responden memilih suatu kondisi kedekatan tinggal tertentu, selalu ada alasan mengenai bentuk interaksi yang diinginkan. Melalui analisis korelasi stepwise, didapatkan bahwa lansia yang ingin tinggal sangat dekat dengan anaknya cenderung ingin berinteraksi dalam bentuk partisipasi dan finansial. Lansia yang ingin tinggal dekat dengan anaknya cenderung menginginkan interaksi dalam bentuk apresiasi. Lansia yang tidak ingin tinggal berdekatan dengan anaknya ternyata juga tidak menginginkan interaksi apapun dengan anaknya. Dalam hal ini bukan berarti kualitas hubungan yang tidak baik, justru dengan intensitas pertemuan yang tidak terlalu sering, kualitas hubungan akan semakin meningkat. Terungkap bahwa suatu kondisi proksimitas hunian lansia dan anak yang ideal menurut preferensi masing-masing akan turut mendukung terciptanya interaksi lansia dan anak yang ideal. Pada akhirnya tesis ini membawa tantangan baru dalam perencanaan dan perancangan hunian lansia baik bagi para pengembang perumahan, praktisi, dan juga pemerintah. Tantangan baru bagi pengembang perumahan adalah bagaimana perencanaan dan perancangan perumahan perlu mulai melihat pasar sebagai multigenerasi dengan penyediaan fasilitas untuk anak-anak, usia muda, dan usia tua. Tantangan baru bagi praktisi adalah bagaimana perencanaan dan perancangan sebuah tipologi hunian yang dapat memfasilitasi kebutuhan tinggal bersama antara lansia dan anak namun tetap menunjang teritori personal masing-masing. Tantangan baru bagi pemerintah adalah bagaimana membuat kebijakan-kebijakan baru bagi penduduk usia lanjut, bukan sekedar merencanakan panti jompo, namun menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang ramah terhadap lansia. Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam menentukan arah kebijakan pembangunan perumahan-perumahan swasta yang perlu mempertimbangkan fasilitas-fasilitas untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan keluarganya.