Perkembangan tata arsitektur kota berjalan dinamis. Tidak jarang pengembangannya berjalan
parsial dan menimbulkan degradasi identitas spasial kota. Hal serupa terjadi pada blok segitiga
Tunjungan Surabaya. Awalnya saat pemerintahan Belanda, blok kawasan Tunjungan tertata
harmonis antar arsitektur pengisinya. Kawasan memiliki identitas area komersial yang kuat. Sejalan
dengan perkembangannya, beberapa bagian kawasan kehilangan kontribusi positifnya (lost space ).
Mengingat perannya sebagai elemen urban fabric kolektif, diperlukan sinergi unsur tatanan-tampilan,
hubungan-pergerakan, fungsi-identitas. Pertalian ini coba diperbaiki melalui reinterpretasi desain
dengan pertimbangan kesejarahan, budaya kehidupan, dan kehadiran terhadap sekitarnya. Visinya
adalah menjadi penguat pertalian urban fabric , sekaligus memperkuat karakter spasial kolektif
kawasan yang telah terdegradasi.