digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Isu kelestarian hutan menjadi hal yang terus berkembang sejak masyarakat menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan. Skema sertifikasi hutan dikembangkan sebagai instrumen untuk mencegah beredarnya kayu-kayu ilegal dan terus bergulir sejak tahun 1990-an. Indonesia telah mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai skema sertifikasi dalam negeri yang bersifat wajib bagi seluruh mata rantai kegiatan industri berbasis kayu, mulai hulu sampai hilir, industri besar sampai industri kecil, sektor formal sampai informal. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Gambaran mengenai tata kelola dan peran dari para pelaku dalam mengimplementasikan kebijakan sertifikasi legalitas kayu diperoleh dari observasi dan wawancara pada pihak-pihak yang dipilih dengan metode snowball. Berdasarkan hasil penelitian, IKM sebagai end pipe industries terlihat berada dalam posisi “menanggung dosa” tata kelola hutan di hulu yang kurang baik. IKM yang lebih fleksibel dalam posisi informal juga kesulitan untuk memenuhi aspek-aspek formal pada skema sertifikasi. Dalam skema SVLK yang telah dibangun, IKM belum memiliki ruang dan partisipasi yang cukup dalam konsepsi kebijakan. IKM dan asosiasinya mulai dilibatkan pada tingkat implementasi setelah capaian sertifikasi pada IKM tidak sesuai seperti yang diharapkan. Beberapa kemudahan melalui revisi peraturan dilakukan sebagai katalis untuk mempercepat implementasi SVLK. Namun demikian, upaya insentif tersebut tetap tidak memberikan efek signifikan bagi IKM untuk segera bersertifikat. Penyebabnya antara lain kurang dikembangkannya partisipasi aktif IKM sehingga pendekatan target cenderung top-down. Upaya pemerintah untuk menyelenggarakan formalisasi bagi IKM dikhawatirkan hanya menjadi batu loncatan untuk menghapus ekonomi informal jika tanpa sungguh-sungguh membantu pertumbuhan usahanya secara substantif. Konsep formalitas Hernando de Soto dalam sertifikasi memang dapat diterima sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan pembelajaran. Namun, konsep tersebut kurang pas jika melihat IKM sebagai pelaku usaha yang tidak hanya mencari keuntungan maksimal sebagaimana berlaku dalam kapitalisme. Pemberdayaan dengan konsep pinjaman mikro Muhammad Yunus boleh jadi dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan IKM agar hambatan sertifikasi dari segi biaya dan kesadaran dapat diminimalisir.