digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penyakit kanker ditandai dengan pertumbuhan sel tidak terkendali dan penyebarannya melalui sistem limfatik dan pembuluh darah menuju jaringan atau bagian tubuh lainnya. Pertumbuhan sel ini akan terus berlangsung dan menyebabkan kerusakan organ-organ vital manusia bahkan kematian. Jumlah kasus kanker di dunia mengalami peningkatan dari 12,7 juta pada tahun 2008 menjadi 14,1 juta pada tahun 2012. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 25 juta pada kurun waktu dua dekade. Sementara di Indonesia, prevalensi kanker pada tahun 2013 yaitu 1,4 ‰atau sekitar 347.792 orang. Kombinasi operasi, radiasi dan kemoterapi merupakan pilihan yang sering dilakukan untuk mengobati kanker. Beragamnya tipe sel kanker pada tiap pasien, stadium panyakit, adanya resiko toksisitas obat, efek samping dan resistensi dalam kemoterapi membuat kanker sulit diobati. Hal ini menjadi tantangan dan motivasi untuk mencari sumber baru obat antikanker. Saat ini, sebanyak 74 dari 488 obat antikanker yang diluncurkan National Cancer Institute (NCI) Amerika Serikat merupakan obat asal tumbuhan. Sementara di Indonesia, sebanyak 16 dari 74 obat antikanker yang beredar merupakan obat asal tumbuhan. Menurut NCI, ada Families of Special Interest (FOSI) atau beberapa suku tumbuhan yang diperkirakan memiliki aktivitas antikanker, diantaranya yaitu Apocynaceae, Simaroubaceae dan Magnoliaceae. Di Indonesia, tercatat sekitar 63 jenis tumbuhan Apocynaceae, 11 jenis tumbuhan Simaroubaceae dan 18 jenis tumbuhan Magnoliaceae yang tersebar di berbagai wilayah. Salah satu metode uji in vitro yang bisa digunakan dalam rangka mencari antikanker dari bahan alam yaitu mechanism-based yeast bioassay. Hasil pengujian ini berkorelasi terhadap salah satu mekanisme kerja senyawa antikanker yaitu inhibitor enzim topoisomerase. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya aktivitas inhibitor enzim topoisomerase terhadap tumbuhan Indonesia dari suku Apocynaceae, Simaroubaceae dan Magnoliaceae. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk penapisan aktivitas inhibitor enzim topoisomerase beberapa ii tumbuhan Indonesia anggota suku tersebut dan isolasi senyawa aktif tumbuhan terpilih. Penapisan aktivitas inhibitor topoisomerase dilakukan terhadap ekstrak metanol kulit batang 15 jenis tumbuhan suku Apocynaceae, 3 jenis tumbuhan suku Simaroubaceae dan 2 jenis tumbuhan suku Magnoliaceae dengan metode mechanism-based yeast bioassay terhadap S. cerevisiae galur mutan (DNA repair- atau recombination deficient). Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak Kibatalia arborea (Blume) G. Don. dan Michelia champaca L. memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dan II. Ekstrak Plumeria alba L., Tabernaemontana macrocarpa Jack., Wrightia pubescens Blume, Picrasma javanica Blume, Picrodendron baccatum Krug. & Urb. Ex. Urb., dan Quassia indica L. Nooteboom memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I. Sedangkan ekstrak Ochrosia citrodora Lauterb & K. Schum dan Michelia alba DC. memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase II. Berdasarkan hasil penapisan, ekstrak Michelia champaca L. dipilih sebagai ekstrak terbaik yang menunjukkan aktivitas inhibitor topoisomerase I dan II. Ekstrak tersebut memiliki efek toksik berdasarkan metode brine shrimp lethality bioassay (LC50<1000 ?g/mL) dan memiliki aktivitas antijamur. Data ini menunjukkan bahwa tumbuhan ini memiliki potensi sebagai antikanker. Oleh karena itu, M.hampaca dijadikan tumbuhan terpilih untuk dilakukan isolasi senyawa aktif. Ekstrak metanol M. champaca difraksinasi dengan metode ekstraksi cair-cair (ECC). Berdasarkan hasil uji aktivitas inhibitor topoisomerase dengan mechanism-based yeast bioassay dan KLT bioautografi, diketahui bahwa senyawa target yaitu bercak ke-5 (Rf 0,68) dalam fraksi etil asetat dengan pengembang campuran kloroform-metanol (9:1). Fraksi etil asetat dipisahkan lebih lanjut dengan gabungan metode kromatografi cair vakum dan kromatografi kolom klasik. Pada tahap akhir dilakukan pemurnian senyawa dengan cara rekristalisasi menggunakan pelarut kloroform. Hasil isolasi berupa kristal jarum berwarna kuning dengan jarak lebur 271,5-272,6 ?C, yang dinamakan isolat MCET51. Uji aktivitas inhibitor topoisomerase isolat MCET51 dilakukan dengan metode mechanism-based yeast bioassay dan reaksi enzimatik terhadap human topoisomerase I. Hasilnya menunjukkan bahwa isolat aktif sebagai inhibitor topoisomerase I dan II. Karakterisasi isolat MCET51 telah dilakukan dengan spektrofotometri UV-Vis, spektrofotometri Inframerah, spektrometri massa dan spektrometri resonansi magnet inti proton ( 1 H), karbon ( 13 C), Heteronuclear Single Quantum Coherence (HSQC) serta Heteronuclear multiple-bond correlation spectroscopy (HMBC). Berdasarkan data karakterisasi dan setelah dibandingkan dengan pustaka, disimpulkan bahwa isolat MCET51 adalah liriodenin. Aktivitas ekstrak M. champaca dan liriodenin sebagai inhibitor topoisomerase I dan II dengan metode mechanism-based yeast bioassay untuk pertama kali iii dilaporkan pada penelitian ini. Selain itu, aktivitas liriodenin sebagai inhibitor topoisomerase I dengan metode enzimatik terhadap human topoisomerase I untuk pertama kali dilaporkan pada penelitian ini. Penelitian lainnya hanya melaporkan liriodenin sebagai inhibitor topoisomerase II. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan NCI yang menyebutkan bahwa suku Apocynaceae, Simaroubaceae dan Magnoliaceae termasuk ke dalam FOSI atau suku tumbuhan yang diperkirakan mengandung zat aktif antikanker. Senyawa yang diisolasi dari tumbuhan terpilih Michelia champaca L., yaitu liriodenin memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dan II yang merupakan salah satu mekanisme obat-obat antikanker.