digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Selama beberapa dekade terakhir, “livability” -yang didefinisikan sebagai kualitas hidup penghuni pada suatu kota atau daerah (Timmer 2005) telah menjadi istilah yang semakin populer dalam manajemen perkotaan sejak semakin tingginya tingkat kepedulian untuk membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang layak untuk hidup. Namun, tingkat urbanisasi yang melonjak secara global membawa dampak berupa perubahan fungsi guna lahan yang banyak didominasi oleh area terbangun dan hanya menyisakan sedikit ruang terbuka hijau. Di Jakarta, area terbangun sebesar 68,44% pada tahun 2001 telah menunjukkan peningkatan yang signifikan menjadi 81,41% di tahun 2014 (Ramdhoni, 2016). Perubahan fungsi guna lahan secara masif dianggap turut memberikan efek pada perubahan iklim khususnya pada skala perkotaan (Tursilawati, 2012) dimana peningkatan emisi gas rumah kaca dan suhu udara di permukaan (Land Surface Temperature) turut berkontribusi dalam fenomena Urban Heat Island (UHI). Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang akan berdampak pada kualitas layak huni suatu kota atau daerah. Selain itu, terdapat perdebatan dalam studi/penelitian sebelumnya terkait UHI, dimana pada satu sisi, terdapat hubungan linear yang kuat antara UHI dengan kepadatan bangunan dan area tutupan lahan (Zhan et al, 2015; Rizwan, 2008; Giridharan et al., 2007), namun, penelitian lain menemukan bahwa kepadatan suatu kota dapat berperan dalam penurunan intensitas UHI (Hu, 2016). Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi kecenderungan terjadinya UHI di perkotaan dengan menganalisis hubungan antara beberapa variabel yang mempengaruhi LST untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih nyaman.