digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Walaupun Indonesia merupakan bagian dari sedikit negara yang bisa mengembangkan panas bumi, pemanfaatan potensi panas bumi berjalan sangat lambat dan menghadapi berbagai kesulitan dan ketidakpastian. Dalam jangka waktu 20 tahun, Indonesia hanya mengembangkan 787 dari tenaga panas bumi, atau 4 persen dari 20,000 MW dari potensinya. Pengembangan panas bumi di kemudian hari akan bergantung pada tingkat kompetitif dibanding pembangkit tenaga yang lain. Biaya modal yang tinggi dan tariff listrik yang terkait tetap merupakan inti permasalahan.Pemerintah telah memiliki komitmen akan meningkatkan sumber daya alam terbaharui dan berkadar karbon rendah pada portofolio energi utama (4.5% hingga diatas 17%(2025)). Sebuah Keputusan Presiden telah dikeoluarkan pada 2006 yang menyatakan arahan terhadap Kebijakan Energi Nasional. Program percepatan kedua telah dirancang untuk mengatasi pertumbuhan permintaan. Percepatan ini (2009-2014) berisi lebih dari 60% dari kapasitas baru dari sumber daya alam terbaharui, dan sekitar 5,000 MW atau 48% dari sumber daya panas bumi. 70% dari investasi pada panas bumi akan dibiayai dan dikembangkan oleh swasta. Beberapa akan menerima bantuan dari institusi pembiayaan internasional dan badan-badan bilateral seperti World Bank, ADB, JICA dan lain-lain. Proyek akhir ini adalah untuk mendapatkan justifikasi dari sebuah analisa ekonomis dari pembangkit listrik tenaga panas bumi, yang akan menyediakan pengembalian dan pertumbuhan. Analisa ekonomis akan dibuat berdasarkan CAPEX, OPEX dan harga, dimana merupakan masukan sensitive untuk mendapatkan model ekonomis. Sasaran utama dari proyek ini adalah untuk mendapatkan sebuah idea tentang investasi pada pembangkit listrik tenaga panas bumi yang berhubungan dengan harga jual pasar yang telah “diatur”. Beberapa solusi bisnis, seperti skenario-skenario(kasus dasar dan potensi yang bias didapatkan), telah disiapkan dengan rencana pelaksanaan sebagai tanggapan dari situasi sekarang.