Masalah transportasi di wilayah Jabodebek, khususnya kemacetan, telah menjadi tantangan utama
bagi mobilitas masyarakat. Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
keterbatasan jalan, ketergantungan pada kendaraan pribadi, dan meningkatnya jumlah kendaraan.
Sebagai solusi, pemerintah Indonesia mengembangkan proyek LRT Jabodek dengan tujuan
mengurangi kemacetan dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. LRT
Jabodek mengintegrasikan teknologi Communication Based Train Control (CBTC) dan sistem
operasi GoA 3 (tanpa pengemudi), serta menghubungkan kawasan strategis seperti Bekasi, Dukuh
Atas, dan Cibubur dengan panjang total 44 km. Proyek ini juga terhubung dengan moda transportasi
lain seperti KRL, BRT Transjakarta, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Namun, proyek ini menghadapi berbagai hambatan, seperti pembebasan lahan, dampak pandemi
COVID-19, dan keterlambatan konstruksi yang mengakibatkan penundaan operasional dari yang
seharusnya pada 2019 menjadi 2023. Selain itu, proyek ini mengalami cost overrun sebesar Rp 2,6
triliun, yang berpotensi mempengaruhi kinerja keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Untuk
memastikan kelayakan finansial proyek, pemerintah memberikan subsidi yang bertujuan untuk
mengurangi beban biaya operasional yang harus ditanggung oleh KAI.
Penelitian ini mengusulkan penerapan sistem tarif berbasis jarak yang lebih mencerminkan biaya
sesungguhnya dan memberikan fleksibilitas kepada penumpang untuk memilih perjalanan yang
efisien. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya sistem tarif berbasis zona, yang lebih
sesuai dengan pola perjalanan penumpang dan memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi pengguna.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan penelitian kepustakaan untuk menganalisis
kebijakan transportasi di wilayah Jabodek. Hasil uji Paired t-test menunjukkan bahwa sistem tarif
berbasis jarak dan zona lebih disukai oleh penumpang dibandingkan tarif tetap. Skema tarif berbasis
jarak meningkatkan minat sebesar 16,73%, sementara tarif berbasis zona meningkat sebesar 17,55%.
Kedua skema ini dianggap lebih adil dan sesuai dengan jarak atau zona yang ditempuh.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih memilih penerapan sistem
tarif berbasis jarak atau zona dibandingkan tarif tetap yang sebelumnya direncanakan. Preferensi ini
muncul karena adanya rasa keadilan yang lebih besar, mengingat tarif berbasis jarak atau zona
mencerminkan perjalanan yang sebenarnya ditempuh oleh pengguna, sehingga lebih sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi perjalanan mereka.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerapan sistem tarif berbasis jarak dan zona dapat
meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan LRT Jabodek, karena skema ini dianggap lebih
adil dan fleksibel. Temuan ini didukung oleh hasil uji statistik yang menunjukkan perbedaan
signifikan dalam preferensi masyarakat terhadap sistem tarif berbasis jarak dan zona dibandingkan
dengan tarif tetap. Konsep Dynamic Governance sebagai kebijakan subsidi (Public Service
Obligation/PSO) juga memainkan peran penting, karena memungkinkan penyesuaian kebijakan
subsidi secara fleksibel berdasarkan pola permintaan, kapasitas operasional, dan kondisi sosialekonomi
yang
dinamis.
Dengan penerapan konsep dynamic governance, kebijakan subsidi LRT Jabodek dapat lebih responsif
dan efisien, memastikan bahwa subsidi yang diberikan tepat sasaran dan tidak berlebihan, serta
mengoptimalkan potensi pendapatan dari tarif yang disesuaikan. Dengan demikian, penerapan sistem
tarif yang adaptif ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi
ketergantungan pada subsidi, dan menciptakan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan dan
terjangkau bagi masyarakat
Perpustakaan Digital ITB