digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Masalah transportasi di wilayah Jabodebek, khususnya kemacetan, telah menjadi tantangan utama bagi mobilitas masyarakat. Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan jalan, ketergantungan pada kendaraan pribadi, dan meningkatnya jumlah kendaraan. Sebagai solusi, pemerintah Indonesia mengembangkan proyek LRT Jabodek dengan tujuan mengurangi kemacetan dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. LRT Jabodek mengintegrasikan teknologi Communication Based Train Control (CBTC) dan sistem operasi GoA 3 (tanpa pengemudi), serta menghubungkan kawasan strategis seperti Bekasi, Dukuh Atas, dan Cibubur dengan panjang total 44 km. Proyek ini juga terhubung dengan moda transportasi lain seperti KRL, BRT Transjakarta, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Namun, proyek ini menghadapi berbagai hambatan, seperti pembebasan lahan, dampak pandemi COVID-19, dan keterlambatan konstruksi yang mengakibatkan penundaan operasional dari yang seharusnya pada 2019 menjadi 2023. Selain itu, proyek ini mengalami cost overrun sebesar Rp 2,6 triliun, yang berpotensi mempengaruhi kinerja keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Untuk memastikan kelayakan finansial proyek, pemerintah memberikan subsidi yang bertujuan untuk mengurangi beban biaya operasional yang harus ditanggung oleh KAI. Penelitian ini mengusulkan penerapan sistem tarif berbasis jarak yang lebih mencerminkan biaya sesungguhnya dan memberikan fleksibilitas kepada penumpang untuk memilih perjalanan yang efisien. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya sistem tarif berbasis zona, yang lebih sesuai dengan pola perjalanan penumpang dan memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi pengguna. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan penelitian kepustakaan untuk menganalisis kebijakan transportasi di wilayah Jabodek. Hasil uji Paired t-test menunjukkan bahwa sistem tarif berbasis jarak dan zona lebih disukai oleh penumpang dibandingkan tarif tetap. Skema tarif berbasis jarak meningkatkan minat sebesar 16,73%, sementara tarif berbasis zona meningkat sebesar 17,55%. Kedua skema ini dianggap lebih adil dan sesuai dengan jarak atau zona yang ditempuh. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih memilih penerapan sistem tarif berbasis jarak atau zona dibandingkan tarif tetap yang sebelumnya direncanakan. Preferensi ini muncul karena adanya rasa keadilan yang lebih besar, mengingat tarif berbasis jarak atau zona mencerminkan perjalanan yang sebenarnya ditempuh oleh pengguna, sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perjalanan mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerapan sistem tarif berbasis jarak dan zona dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan LRT Jabodek, karena skema ini dianggap lebih adil dan fleksibel. Temuan ini didukung oleh hasil uji statistik yang menunjukkan perbedaan signifikan dalam preferensi masyarakat terhadap sistem tarif berbasis jarak dan zona dibandingkan dengan tarif tetap. Konsep Dynamic Governance sebagai kebijakan subsidi (Public Service Obligation/PSO) juga memainkan peran penting, karena memungkinkan penyesuaian kebijakan subsidi secara fleksibel berdasarkan pola permintaan, kapasitas operasional, dan kondisi sosialekonomi yang dinamis. Dengan penerapan konsep dynamic governance, kebijakan subsidi LRT Jabodek dapat lebih responsif dan efisien, memastikan bahwa subsidi yang diberikan tepat sasaran dan tidak berlebihan, serta mengoptimalkan potensi pendapatan dari tarif yang disesuaikan. Dengan demikian, penerapan sistem tarif yang adaptif ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi ketergantungan pada subsidi, dan menciptakan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan dan terjangkau bagi masyarakat