Dekarbonisasi sektor energi merupakan bagian penting dari strategi nasional dalam
rangka mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Salah satu
langkah konkret yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) adalah penerapan teknologi
co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dengan tujuan
mengurangi ketergantungan terhadap batu bara melalui pemanfaatan biomassa
lokal yang dikembangkan dari Hutan Tanaman Energi (HTE) di sekitar Waduk
Cirata. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik termal dan
kecenderungan slagging serta fouling dari campuran dua jenis batu bara, yakni Low
Rank Coal (LRC) dan Medium Rank Coal (MRC), dengan tiga jenis biomassa hasil
pengembangan HTE, yaitu Eichhornia crassipes (EC), Calliandra calothyrsus
(CC), dan Gliricidia sepium (GS), pada rasio co-firing sebesar 5%, 10%, dan 20%
dari total berat bahan bakar co-firing.
Tahapan awal penelitian mencakup karakterisasi bahan bakar padat melalui uji
proksimate, ultimate, dan analisis komposisi kadar abu berdasarkan standar ASTM.
Pengujian Ash Fusion Temperature (AFT) dilakukan untuk mengetahui titik leleh
abu pada beberapa tahapan, meliputi Initial Deformation Temperature (IDT),
Softening Temperature (ST), Hemispherical Temperature (HT), dan Fluid
Temperature (FT), baik dalam atmosfer oksidatif maupun reduktif.
Hasil pengujian ash fusion temperature (AFT) menunjukkan nilai AFT pada batu
bara murni MRC lebih rendah dari batu bara murni LRC. Selain itu, hasil pengujian
AFT menunjukkan bahwa penambahan biomassa ke dalam LRC cenderung
meningkatkan nilai AFT, sedangkan campuran biomassa dengan MRC
menunjukkan penurunan AFT. Selain itu, nilai AFT pada atmosfer reduktif
umumnya lebih rendah dibandingkan dengan atmosfer oksidatif, menjadikannya
lebih representatif untuk mengevaluasi kecenderungan slagging dan fouling dalam
zona pembakaran terbatas udara.
Analisis prediktif diagram terner sistem S–C–K–CK digunakan untuk klasifikasi
mineral abu dan melakukan estimasi nilai IDT serta HT. Dari hasil klasifikasi, sebanyak 16 dari 18 jenis abu co-firing (88,89%) sesuai dengan prediksi IDT dan
14 dari 18 jenis abu co-firing (77,78%) sesuai dengan prediksi HT, sehingga sistem
diagram terner ini dianggap valid untuk memprediksi perilaku leleh abu co-firing
biomassa.
Simulasi termodinamika pada proses pembakaran menggunakan perangkat lunak
FactSage 7.3 menunjukkan bahwa EC memiliki kecenderungan slagging paling
tinggi. Hal tersbut ditandai ditandai dengan pembentukan senyawa volatil KOH(g)
yang tinggi serta kandungan K?O yang dominan dalam fasa slag, baik pada sistem
co-firing LRC maupun MRC.Pada simulasi pelelehan menggnuakan FactSage 7.3,
prediksi fraksi lelehan abu menunjukkan korelasi langsung dengan nilai AFT. Pada
sistem LRC, AFT kenaikan justru menghasilkan fraksi lelehan yang lebih besar.
Sebaliknya, pada MRC, AFT yang menurun berkorelasi dengan fraksi lelehan yang
lebih kecil.
Evaluasi terhadap indeks slagging dan fouling seperti Base to Acid Ratio (B/A),
Slagging Index (Fu), Fouling Index (Sr), dan Alkali Index (AI), menunjukkan
bahwa campuran MRC dengan biomassa memiliki nilai indeks yang lebih stabil
dan termasuk dalam kategori risiko rendah hingga sedang, menunjukkan kestabilan
termal yang lebih baik dibandingkan dengan LRC.
Penelitian ini memberikan kontribusi ilmiah terhadap pemahaman karakteristik
termal dan kimia dari sistem pembakaran co-firing batu bara dengan biomassa.
Berdasarkan kecenderungan slagging dan fouling yang dianalisis,
direkomendasikan rasio co-firing maksimum sebesar <5%wt untuk EC, hingga
5%wt untuk CC, dan hingga 10%wt untuk GS. Dengan demikian, penerapan cofiring
biomassa tidak hanya berpotensi mendukung pencapaian NZE, tetapi juga
dapat meningkatkan keberlanjutan operasional PLTU di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB