Industri konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan dalam meningkatkan keandalan perencanaan dan efisiensi operasional proyek. Sejak diperkenalkan oleh Ballard dan Howell, Last Planner System (LPS) telah menjadi salah satu pendekatan lean construction yang menawarkan solusi terhadap tingginya tingkat ketidakpastian di lapangan melalui perencanaan kolaboratif dan pengendalian produksi yang lebih adaptif. Namun, keberhasilan penerapan LPS sangat bergantung pada kompetensi pelaksana di lapangan, khususnya mandor dan subkontraktor yang bertindak sebagai Last Planner. Di Indonesia, mayoritas mandor dan subkontraktor berasal dari latar belakang pendidikan SMA atau SMK dan cenderung memperoleh kompetensinya melalui pengalaman langsung, bukan pelatihan formal. Peran sebagai Last Planner menuntut kompetensi yang jauh lebih luas dibandingkan peran mandor konvensional, terutama dalam aspek achievement and action (inisiatif, ketekunan, ketegasan) dan cognitive (berpikir sistematis, analisis kendala, pengambilan keputusan). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan oleh mandor dan subkontraktor dalam menjalankan peran sebagai Last Planner, menganalisis kondisi aktual kompetensi mereka pada proyek konstruksi yang telah menerapkan LPS, serta merumuskan strategi peningkatan yang tepat. Studi dilakukan pada dua proyek konstruksi gedung dari perusahaan BUMN dengan menggunakan metode studi kasus dan analisis deskriptif. Model Dreyfus digunakan sebagai kerangka evaluasi untuk menilai kompetensi dalam empat parameter: knowledge, standard of work, autonomy, dan decision. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kompetensi masih berada pada tingkat advanced beginner, terutama pada aspek Collaborative Planning, Pull Planning, dan Learning yang memiliki nilai terendah di kedua proyek. Kesenjangan utama yang ditemukan antara lain adalah kurangnya pemahaman menyeluruh tentang filosofi LPS, rendahnya kemandirian pelaksana dalam membuat keputusan, serta minimnya dokumentasi sebagai standar kerja. Berdasarkan hasil tersebut, strategi yang disarankan mencakup pendekatan jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek meliputi pelatihan berbasis praktik dengan model experiential learning dan simulasi konstruksi ramping. Sementara itu, strategi jangka panjang diarahkan pada integrasi kompetensi LPS dalam kurikulum pendidikan vokasi dan penyusunan standar kompetensi formal seperti SKKNI. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam upaya meningkatkan keandalan sistem produksi konstruksi melalui penguatan kompetensi pelaku lapangan di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB