Gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah (HFrEF) menjadi penyebab utama rawat inap dan kematian yang risikonya meningkat saat terjadi dekompensasi akut. Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI) terbukti efektif menurunkan risiko tersebut, namun penggunaannya di Indonesia masih terbatas, terutama karena harganya yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola penggunaan dan biaya obat pada pasien HFrEF, baik yang menggunakan obat mixed (ARNI, Beta-Blockers (BB), Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA)) maupun obat konvensional saja (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)/Angiotensin Receptor Blocker (ARB), BB, MRA) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan studi potong lintang retrospektif. Data penelitian diperoleh dari data sekunder meliputi rekam medis pasien, SIMRS, instalasi farmasi, dan data klaim BPJS. Analisis data menggunakan analisis univariat dan statistik inferensial. Pola penggunaan obat menggunakan metode ATC/DDD dan DU90%. Analisis biaya dengan membandingkan total tarif riil rumah sakit dan INA-CBGs. Penggunaan obat konvensional masih mendominasi (85%) dengan obat yang termasuk segmen 90% diurutkan dari nilai DDD terbesar yaitu Ramipril (77,206 DDD/100 hari rawat inap) dan Spironolakton (69,363 DDD/100 hari rawat inap). Sementara itu, obat non-konvensional (ARNI) hanya digunakan pada 15% pasien dengan total penggunaan per tahun sebanyak 70. Total tarif riil rumah sakit pada kelompok konvensional dan mixed lebih besar dari tarif INA-CBGs sehingga menyebabkan selisih negatif secara berturut-turut sebesar Rp7,144,617 dan Rp 3,537,408. Biaya obat antara kedua kelompok berbeda signifikan (p<0,05) namun tidak menjadi komponen terbesar dari total tarif riil rumah sakit. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi total tarif riil rumah sakit adalah lama rawat inap (p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat konvensional masih banyak digunakan namun kedua kelompok sama-sama menghasilkan selisih negatif.
Perpustakaan Digital ITB