digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bangunan yang dirancang menggunakan standar terdahulu, seringkali memiliki perbedaan dalam parameter desain dengan standar terbaru, termasuk persyaratan material dan ketahanan seismik. Salah satu aspek yang mengalami perubahan signifikan pada SNI (Standar Nasional Indonesia) mengenai peraturan perancangan bangunan tahan gempa adalah demand gempa dan syarat kuat tekan beton minimum yang digunakan. Dalam SNI 1726:2002, demand gempa yang digunakan merupakan gempa dengan perioge ulang 500 tahun, yang berarti peluang terjadinya gempa adalah 10% dalam 50 tahun. Sedangkan dalam SNI 1726:2019 demand gempa yang digunakan merupakan gempa dengan periode ulang 2500 tahun, yang artionya peluang terjadinya gempa tersebut adalah 2% dalam 50 tahun. Untuk persyatatan kuat tekan beton minimum yang disyaratkan dalam SNI 1726:2002 adalah sebesar 25 MPa jauh lebih kecil dibangingkan persyaratan kuat tekan minimum yang disyaratkaan dalam SNI 2716:2019, yaitu sebesar 28 MPa. Adanya perbedaan regulasi ini menenunjukkan perlu diadakan evaluasi kinerja terhadap bangunan eksisting untuk menentukan apakah bangunan tersebut masih memenuhi persyaratan kinerja dengan standar yang lebih baru. Dalam konteks bangunan eksisting, evaluasi tidak dapat dilakukan terhadap regulasi untuk perancangan yang terbaru, tetapi harus mengacu pada standar yang dirancang khusus untuk analisis dan perkuatan struktur yang sudah berdiri. ASCE 41-17 merupakan standar yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja bangunan eksisting terhadap beban gempa berdasarkan pendekaran berbasis kinerja (performance based design). Standar ini memungkinkan penilaian apakah suatu struktur masih layak digunakan atau perlu diperkuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja bangunan eksisting yang dirancang berdasarkan SNI 1726:2002 menggunakan metode evaluasi yang sesuai untuk bangunan eksisting, yaitu berdasarkan ASCE 41-17. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan solusi rehabilitasi seismik yang dibutuhkan oleh bangunan eksisting, sehingga bangunan tersebut memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh ASCE 41-17. Dalam hal ini, rehabilitasi seismik yang diterapkan adalah Lead Rubber Bearing (LRB) dan Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP). LRB dipilih untuk meningkatlan ketahanan global bangunan terhadap gempa dengan mengurangi gaya geser dasar dan perpindahan antar lantai, sementara CFRP digunakan untuk meningkatkan kekuatan pada elemen-elemen tertentu untuk meningkatkan kapasitas lentur, geser dan aksialnya. Pemodelan dilakukan menggunakan perangkat lunak ETABS, dengan mempertimbangkan beban gravitasi yang terdiri dari berat sendiri bangunan, beban mati tambahan, serta beban hidup. Analisis dilakukan dengan dua metode utama, yaitu analisis respon spektrum dan analisis pushover. Analisis respon spektrum digunakan sebagai langkah awal (preliminary check) untuk mengevaluasi Demand- Capacity Ratio (DCR) dari bangunan eksisting. Sementara analisis pushover dilakukan untuk mengevaluasi kinerja struktur terhadap beban lateral yang meningkat secara bertahap hingga mencapai kondisi inelastik. Hasil analisis pushover berupa kurva gaya geser dasar terhadap perpindahan, yang kemudian dikonversi ke dalam format Acceleration Displacecment Response Spectrum (ADRS). Kurva kapasitas dalam format ADRS ini dibandingkan dengan kurva demand gempa, dan titik potong dari kedua kurva tersebut disebut sebagai performance point. Pada titik ini dilakukan evaluasi terhadap tingkat sendi plastis yang terbentuk untu menentukan apakah bangunan eksisting masih memenuhi acceptance criteria sesuai dengan ASCE 41-17. Penelitian ini menggunakan dua tingkat gempa, yaitu BSE-1E dengan periode ulang gempa 225 tahun dan BSE-2E dengan periode ulang gempa 975 tahun, yang merepresentasikan tingkat gempa moderat dan ekstrem dalma evaluasi kinerja bangunan eksisting. Selain mengevaluasi DCR dan pembentukan sendi plastis, dilakukan pula analisis terhadap pemenuhan persyaratan strong column weak beam (SCWB) guna memastikan mekanisme kegagalan yang lebih diutamakan terjadi pada balok dibandingkan pada kolom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan perkuatan, sebagian besar elemen struktur tidak cukup kuat menahan beban gempa, yang berisiko menyebabkan kerusakan signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai DCR yang tidak memenuhi dan terbentuknya sendi plastis yang melampaui acceptance criteria ASCE 41-17 Penerapan Lead Rubber Bearing (LRB) berhasil meningkatkan kapasitas struktur secara signifikan, yang ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah sendi plastis dan distribusi deformasi yang lebih merata. Namun, terdapat beberapa elemen yang masih belum memenuhi kriteria Strong Column-Weak Beam (SCWB) dan batasan sendi plastis yang disyaratkan ASCE 41-17, sehingga diperlukan perkuatan tambahan menggunakan Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP). Perbandingan antara struktur yang hanya diperkuat dengan LRB dan struktur yang diperkuat dengan kombinasi LRB dan CFRP menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas secara global tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh sifat perkuatan CFRP yang lebih berfokus pada peningkatan kapasitas lokal elemen tertentu. Meskipun demikian, kombinasi strategi perkuatan ini telah mampu meningkatkan ketahanan struktur sehingga bangunan memenuhi persyaratan kinerja ASCE 41-17. Hasil dari analisis respon spektrum pada bangunan eksisting menunjukkan bahwa pada struktur eksisting, terdapat 276 elemen balok dan 123 elemen balok dengan DCR melebihi 1. Kemudian, untuk hasil analisis pushover terhadap gempa BSE- 1E menunjukkan terbentuknya 5 sendi plastis pada kategori IO-LS di arah X dan 1 sendi plastis (IO-LS) di arah Y. Untuk gempa BSE-2E, terbentuk 25 sendi plastis yang melampaui level kinerja Collapse Prevention (CP) di arah X dan 40 sendi plastis (>CP) di arah Y, mengindikasikan kegagalan struktural. Setelah dilakukan rehabilitasi dengan LRB, hasil analisis repson spektrum, menunjukkan jumlah elemen yang tidak memenuhi persyaratan DCR mengalami penurunan menjadi 116 elemen balok dan 3 elemen yang belum memenuhi persyaratan DCR. Hasil analisis pushover menunjukkan bahwa tidak ada sendi plastis yang terbentuk pada BSE-1E, yang artinya struktur masih dalam level kinerja fully occupational. Sedangkan pada BSE-2E, level kinerja struktur masih melampaui CP, namun jumlah sendi plastisnya telah berkurang menjadi 8 di arah X dan 3 di arah Y. Selanjutnya dilakukan perkuatan tambahan menggunakan CFRP pada 18 kolom yang tidak memenuhi persyaratan SCWB serta 116 balok dan 46 kolom yang belum memenuhi DCR dan/atau terbentuk sendi plastis yang melebihi acceptance criteria. Pada struktur yang telah diperkuat dengan kombinasi LRB dan CFRP ini, hasil analisis respon spektrum menunjukkan semua elemen struktur telah memenuhi persyaratan DCR. Kemudian, hasil analisis pushover level kinerja untuk demand gempa BSE-1E berada pada level fully occupational. Untuk BSE-2E, sendi plastis yang melampaui CP berhasil dieliminasi, menyisakan 8 sendi plastis (IOLS) di arah X dan 7 sendi plastis (IO-LS) di arah Y. Hal ini menunjukkan bahwa struktur telah memenuhi acceptance criteria, yaitu tidak adanya sendi plastis yang melampaui kategori CP. Dengan strategi perkuatan yang diterapkan berupa pemasangan LRB dan perkuatan menggunakan CFRP, bangunan eksisting ini dapat mencapai tingkat keamanan yang memadai tanpa perlu melakukan peningkatan kuat tekan beton secara menyeluruh. Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam evaluasi dan rehabilitasi bangunan eksisting, diperlukan standar khusus yang mempertimbangkan kondisi aktual bangunan, bukan hanya mengacu pada regulasi perancangan terbaru yang ditujukan untuk bangunan baru.