








Emisi Gas Rumah Kaca secara global terus meningkat, dengan Indonesia sebagai negara penghasil emisi terbesar ke-9 di dunia. Tren ini memiliki dampak besar terhadap perubahan iklim, oleh karena itu Indonesia untuk berkomitmen mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060. Strategi pemerintah mencakup transisi dari bahan bakar fosil menjadi sumber energi terbarukan. Namun, sifat intermitensi energi terbarukan menimbulkan tantangan pada stabilitas sistem kelistrikan, yang dikarenakan produksi energi sangat bergantung pada kondisi alam. Turbin gas, yang memiliki fleksibilitas operasional dan kemampuannya menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar, dapat digunakan sebagai alternatif solusi. Turbin ini dapat menstabilkan frekuensi jaringan dengan merespons fluktuasi produksi energi secara cepat, memastikan keandalan sambil mendukung target pengurangan emisi.
Penelitian ini mengevaluasi dampak performa dan emisi dari cofiring hidrogen pada turbin gas, serta melakukan analisis tekno-ekonomi untuk menilai kelayakan implementasinya. Simulasi dilakukan menggunakan perangkat lunak ASPEN HYSYS berdasarkan data operasional PLTG Tanjung Batu 2 x 50–60 MW dengan mempertahankan daya bruto sebesar 72,75 MW. Indikator performa utama yang dianalisis mencakup daya bruto, efisiensi termal, emisi CO? dan NO?, serta biaya operasional pada berbagai skenario pencampuran hidrogen (0–100%) dan asumsi harga hidrogen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kandungan hidrogen dalam campuran bahan bakar secara signifikan mengurangi emisi CO?, dari fraksi molar 0,3109 pada 0% hidrogen menjadi 0,0028 pada 100% hidrogen, menunjukkan potensi hidrogen sebagai bahan bakar bebas karbon. Emisi NO? juga menurun dari 0,0131 menjadi 0,0124, yang dilakukan melalui pengendalian temperatur pembakaran dan rasio udara-bahan bakar yang dioptimalkan. Selain itu, rasio kerja balik menurun dari 53,6% menjadi 52,3%, menunjukkan penurunan beban kompresor relatif terhadap daya turbin. Namun, peningkatan efisiensi termal tergolong marginal, dari 33,5% menjadi 34,4%. Temuan ini menegaskan kelayakan
hidrogen sebagai alternatif yang lebih bersih dan efisien dibandingkan bahan bakar fosil dalam aplikasi turbin gas.
Analisis ekonomi menunjukkan bahwa harga hidrogen merupakan faktor paling kritis dalam penentuan kelayakan. Pada harga hidrogen 1 USD/kg dan perdagangan karbon 102 USD/ton, biaya produksi listrik turun dari Rp1.726,8/kWh menjadi Rp568,68/kWh. Sebaliknya, harga hidrogen yang lebih tinggi, seperti 5,6 USD/kg, secara signifikan meningkatkan biaya produksi, yang menjadikannya kendala utama dalam keekonomian. Oleh karena itu diperlukan inovasi teknologi dan peningkatan skala produksi hidrogen hijau untuk menekan harga hidrogen.
Penerapan cofiring hidrogen pada PLTG Tanjung Batu 2 x 50–60 MW memerlukan modifikasi pada peralatan utama dan pendukung untuk penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar. Modifikasi ini menyebabkan peningkatan biaya investasi sebesar 9%, dari Rp1.013.877.537.909,00 menjadi Rp1.114.743.588.731,28. Penyesuaian ini mencakup kebutuhan perubahan pada komponen turbin gas, sistem penyimpanan, serta infrastruktur pendukung, yang menjadi tantangan penting dalam implementasi teknologi hidrogen sebagai bahan bakar rendah karbon.
Sebagai kesimpulan, cofiring hidrogen pada turbin gas merupakan alternatif yang layak dipilih untuk mendukung target Net Zero Emissions Indonesia pada tahun 2060. Pembangkit ini mengintegrasikan energi terbarukan sambil menjaga stabilitas jaringan dan mengurangi emisi. Meskipun demikian, pencapaian potensi ini memerlukan strategi komprehensif, termasuk investasi dalam infrastruktur hidrogen, inovasi teknologi, dan kerangka kebijakan yang mendukung. Penelitian ini memberikan pandangan tentang kelayakan dan manfaat cofiring hidrogen, dengan mengutamakan pentingnya peran turbin gas dalam transisi energi Indonesia dan upaya mencegah perubahan iklim.