
ABSTRAK_Chandra Rio Maulana Akbar
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur Ringkasan
Kepulauan Seribu, terutama Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, menghadapi tantangan kompleks akibat keterbatasan fasilitas publik, tekanan pertumbuhan populasi, serta dampak kenaikan permukaan air laut. Kedua pulau ini, yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Kepulauan Seribu Utara, menunjukkan rasio fasilitas publik eksisting yang sangat rendah, yaitu sebesar 3,11 m² per orang di Pulau Kelapa dan 4,16 m² per orang di Pulau Harapan, jauh di bawah standar nasional 10–12 m² per orang (Permen PU No.5 /PRT/M/2008). Dengan pertumbuhan penduduk setinggi 2,75% di Pulau Kelapa dan 4.13% di Pulau Harapan dalam lima tahun terakhir, serta proyeksi berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan bahwa kenaikan air laut hingga 70 cm pada lima tahun mendatang (2030) akan semakin menurunkan rasio tersebut, diperkirakan mencapai 0,31 m² per orang di Pulau Kelapa dan 0,54 m² per orang di Pulau Harapan. Kondisi ini menuntut solusi desain yang adaptif terhadap perubahan lingkungan dan mampu mengakomodasi kebutuhan unik masyarakat pesisir melalui penerapan konsep placemaking berbasis resiliensi.
Melalui observasi lapangan, wawancara tidak terstruktur, studi pustaka, dan analisis preseden, penelitian ini mengusung 12 kriteria perancangan yang berorientasi pada keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan, diantaranya seperti Variety of Uses, Adaptive Futures, community-driven spaces, dan ecological enhancement. Analisis tapak menunjukkan bahwa sisi timur Pulau Kelapa menjadi lokasi strategis karena berfungsi sebagai pusat aktivitas komunitas kedua pulau sekaligus merupakan area yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Keunikan pendekatan placemaking yang diterapkan terletak pada relevansinya yang mendalam terhadap konteks pesisir, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sejak tahap awal guna membangun rasa kepemilikan (sense of ownership) dan keterikatan emosional (sense of place) terhadap fasilitas publik. Pendekatan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar terhadap fasilitas publik, tetapi juga memperkuat kapasitas komunitas dalam mengelola dan memanfaatkan fasilitas secara mandiri dan berkelanjutan. Integrasi elemen ekologis seperti mangrove serta penerapan strategi adaptive living shorelines dan artificial reefs semakin memperkuat sistem ketahanan lingkungan, menciptakan ruang adaptif yang harmonis antara masyarakat dan ekosistem pesisir, serta memastikan keberlanjutan jangka panjang.
Hasil perancangan menunjukkan bahwa penerapan strategi placemaking berbasis resiliensi tidak hanya meningkatkan kapasitas fasilitas publik, tetapi juga mengoptimalkan efisiensi penggunaan lahan. Perancangan ini mampu mengefisiensikan luas bangunan terbangun sebesar 53%, meningkatkan area terbuka hingga 29%, dan menghasilkan total efisiensi lahan sebesar 22%. Dengan dominasi ruang terbuka dan semi terbuka sebesar 86%, menciptakan fleksibilitas tinggi dalam mengakomodasi dinamika komunitas dan adaptasi terhadap tantangan lingkungan. Peningkatan rasio fasilitas publik dari 1:0,31 m² menjadi 1:1,72 m² per orang merupakan capaian signifikan yang menyediakan ruang yang lebih layak untuk mendukung aktivitas sosial dan produktif masyarakat. Lebih dari sekadar ruang fisik, fasilitas publik dirancang sebagai wadah pemberdayaan komunitas melalui integrasi program kegiatan seperti budidaya ikan keramba dan agrikultur, yang berperan sebagai katalis ekonomi lokal serta memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
Tesis ini memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan teori dan praktik placemaking yang resilien, dengan menggabungkan solusi adaptif berbasis komunitas dan strategi keberlanjutan sosial-ekonomi. Model desain yang dihasilkan tidak hanya menjadi jawaban atas tantangan lokal di Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, tetapi juga menawarkan pendekatan inovatif yang dapat menjadi acuan global bagi pengembangan fasilitas publik di kawasan pesisir lain yang menghadapi tekanan serupa.