digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Dokumen Asli
PUBLIC Open In Flip Book Dessy Rondang Monaomi Ringkasan

Peningkatan kebutuhan energi di Kalimantan Timur didorong oleh pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi sehingga menuntut adanya perencanaan energi yang komprehensif untuk memastikan keberlanjutan dan efisiensi. Meskipun wilayah Kalimantan Timur memiliki potensi energi terbarukan yang signifikan dari tenaga air, surya, dan biomassa, lebih dari 85% pembangkit listriknya masih bergantung pada batu bara dan diesel yang menyumbang emisi karbon dioksida (CO?) dalam jumlah besar. Pada tahun 2022, energi terbarukan hanya menyumbang 7,24% dalam bauran energi regional, jauh di bawah target 12,39% pada tahun 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional. Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Low Emission Analysis Platform (LEAP) untuk memproyeksikan permintaan energi dan mengevaluasi pengurangan emisi CO? hingga tahun 2035 dengan empat skenario: Business as Usual (BAU), pemanfaatan PLTN, energi terbarukan, dan kombinasi PLTN dengan energi terbarukan (RE MIX). Hasil simulasi menunjukkan peningkatan permintaan listrik dari 4.420,2 GWh pada tahun 2023 menjadi 6.968,1 GWh pada tahun 2035, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan 3,83%. Skenario RE MIX mencatat pengurangan emisi terbesar sebesar 14,52% dengan total emisi 11.577,5 ribu metrik ton, sementara skenario PLTN mencatat pengurangan 12,84% dengan total emisi 11.805,6 ribu metrik ton. Dari sisi biaya pokok produksi (BPP), skenario energi terbarukan menunjukkan biaya terendah, yakni Rp822,72/kWh, dibandingkan skenario BAU, sedangkan skenario PLTN dan RE MIX mencatat BPP tertinggi masing-masing sebesar Rp1.456,39/kWh dan Rp1.514,30/kWh. Meskipun demikian, skenario RE MIX menawarkan manfaat penurunan emisi terbesar dengan kredit karbon sebesar 3.933 ribu USD, diikuti oleh skenario PLTN dengan 3.476,82 ribu USD, sementara skenario energi terbarukan menghasilkan kredit karbon sebesar 980,74 ribu USD. Skenario Energi Terbarukan menjadi pilihan yang paling optimal dalam jangka menengah dalam transisi energi menuju sistem yang lebih berkelanjutan. Kombinasi biaya produksi yang rendah, investasi yang relatif terjangkau, dan kontribusi terhadap keberlanjutan menjadikan skenario ini pilihan strategis dalam mendukung komitmen terhadap pengurangan emisi dan peralihan ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.