digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penelitian ini mengkaji manajemen konflik agraria antara masyarakat Kampung Bunisari, Desa Langensari dengan PTPN 1 Regional 2 di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Konflik bermula dari penggarapan lahan sejak 1990-an yang awalnya menggunakan sistem sewa, kemudian berkembang menjadi konflik terbuka setelah berakhirnya sebagian HGU PTPN pada tahun 2013. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, mengumpulkan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan masyarakat, pejabat PTPN, pemerintah daerah, dan aktivis reforma agraria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik agraria di Kampung Bunisari merupakan manifestasi dari ketimpangan struktural warisan kolonial yang bertransformasi menjadi gerakan sosial terorganisir. Jejak historis konflik dapat ditelusuri hingga tahun 1870 ketika kebijakan kolonial Belanda memberlakukan sistem Erpacht. Permukiman masyarakat di kawasan tersebut dimulai pada tahun 1948 sebagai pekerja perkebunan, menciptakan hubungan sosial-ekonomi yang kompleks dengan tanah yang masih berlangsung hingga saat ini. Penelitian mengidentifikasi fase-fase konflik yang berbeda: pra-konflik (1948-2015), konfrontasi (2015-2017), krisis (2017-2020), dan fase hasil saat ini yang ditandai dengan situasi status quo. Upaya penyelesaian konflik melalui berbagai mekanisme dari tingkat desa hingga nasional belum menghasilkan resolusi karena adanya perbedaan fundamental dalam cara pandang tentang fungsi dan kepemilikan tanah. PTPN memandang lahan sebagai aset negara yang memerlukan pengelolaan korporasi, sementara masyarakat menganggapnya sebagai sumber penghidupan dasar dan keadilan sosial. Konflik ini disebabkan oleh tiga faktor utama: (1) benturan regulasi antara UU BUMN dengan kebijakan reforma agraria, khususnya pertentangan antara Perpres 62/2023, PP 18/2021 PP 20/2021, dan UU No. 19/2003, (2) ketimpangan ekonomi warisan kolonial yang tercermin dalam penolakan skema Pemberdayaan Masyarakat Desa Kebun yang dipandang masyarakat melanggengkan ketergantungan ekonomi, dan (3) pertentangan legitimasi antara status aset BUMN dengan klaim masyarakat yang didukung pemerintah daerah. Studi ini mengungkapkan munculnya gerakan sosial melalui pembentukan Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS) yang menjalin aliansi strategis dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kemitraan ini telah mentransformasi keluhan lokal menjadi gerakan reforma agraria yang sistematis, menghubungkan kasus Bunisari dengan jaringan advokasi nasional yang mencakup 851 lokasi prioritas reforma agraria di 23 provinsi. Penelitian merekomendasikan harmonisasi regulasi penanganan konflik agraria dengan BUMN, khususnya melalui pengembangan peraturan pelaksana yang rinci untuk Perpres 62/2023. Penguatan koordinasi lintas sektor melalui Gugus Tugas Reforma Agraria menjadi penting, dengan saran pengintegrasian resolusi konflik ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Untuk PTPN, studi merekomendasikan pemetaan aset komprehensif untuk mengidentifikasi area konflik dan clean area, dilanjutkan dengan pengembangan skema penyelesaian konflik yang mempertimbangkan sejarah penguasaan lahan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Rekomendasi tingkat masyarakat berfokus pada penguatan kapasitas organisasi dalam pengelolaan lahan berkelanjutan dan pengembangan strategi gerakan sosial yang konstruktif sambil memanfaatkan jalur formal melalui mekanisme Gugus Tugas Reforma Agraria.