digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, memperkirakan pertumbuhan permintaan energi sebesar 4,9% per tahun. Saat ini, bauran energi Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama batu bara, dengan produksi tahunan mencapai 615 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia. Namun, kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dari batu bara telah mendorong pemerintah untuk menargetkan percepatan pensiun dini batubara pada tahun 2030, dengan tujuan menggantikan kesenjangan energi tersebut dengan sumber energi terbarukan. Peralihan ini akan membutuhkan penghentian pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan berfokus pada pembangkit listrik energi terbarukan, melalui integrasi hidrogen dan energi nuklir. Hidrogen muncul sebagai alternatif utama terhadap bahan bakar konvensional karena profilnya yang ramah lingkungan. Pasar hidrogen global diperkirakan akan mencapai USD 201 miliar dengan pertumbuhan tahunan sebesar 9,2%. Dengan densitas energi 142 kJ/g, hidrogen memiliki potensi besar, meskipun hidrogen hijau masih mahal dengan harga USD 3-12/kg. Di sisi lain, energi nuklir juga menawarkan solusi, yang telah dikembangkan Indonesia melalui peta jalan semenjak 2006. Indonesia tersendiri memiliki cadangan thorium sebesar 4.729-ton dan uranium sebesar 5.234-ton yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi nuklir. Namun, kelayakan untuk mengintegrasikan hidrogen dan energi nuklir ke dalam bauran energi Indonesia membutuhkan investigasi mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model komprehensif pembangkitan listrik di Indonesia antara tahun 2024 hingga 2050 guna memahami dinamika penggunaan energi hingga tahun 2050. Perangkat lunak Low Emission Analysis Platform (LEAP) akan digunakan untuk memproyeksikan masa depan pembangkitan energi melalui empat skenario yang berbeda, dengan fokus pada rencana RUPTL yang diharapkan, pensiun batu bara, dan penggunaan sumber energi terbarukan yang mutakhir. Hingga saat ini, belum ada penelitian ekstensif yang menggunakan LEAP untuk mensimulasikan dampak potensial dari integrasi hidrogen dan kebijakan penghapusan batu bara pada sistem pembangkitan listrik Indonesia hingga tahun 2050. Pada simulasi ini, analisis komprehensif akan dilakukan dengan memanfaatkan data spesifik terkait energi yang mencakup kurva beban energi kurva energi terbarukan yang bersifat intermittent di Indonesia. Adapun terdapat 4 skenario berbeda yang disimulasikan dalam studi ini, mencakup skenario business-as-usual (BAU), skenario inkorporasi hidrogen (HYD), skenario pension dini batubara (CPO), serta skenario progresif (PRO). Skenario BAU memodelkan bagaimana ekspansi pembangkitan listrik akan terjadi jika sepenuhnya sesuai dengan RUPTL PLN 2021-2030. Skenario ini juga bertindak sebagai skenario referensi untuk skenario lainnya, di mana tidak ada kebijakan tambahan dari pemerintah. Pada tahun 2050, kapasitas akan mencapai 399,1 GW dengan output energi sebesar 1090,71 TWh. Kebutuhan investasi diperkirakan mencapai 101,8 miliar USD dari tahun 2024 hingga 2050. Ditemukan bahwa kontributor energi terbarukan terbesar adalah tenaga air dan panas bumi dengan masing-masing output sebesar 27,24% dan 20,60% pada tahun 2050, yang menunjukkan fokus dari pemecah masalah pada sumber energi berbiaya rendah. Namun, rencana pensiun batu bara di Indonesia memperkenalkan risiko signifikan terhadap implementasinya. Skenario HYD bertujuan mengintegrasikan hidrogen hijau dari panel surya, sesuai dengan peta jalan Indonesian Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE), yang menargetkan 1-5% konsumsi energi berasal dari hidrogen pada tahun 2050. Kapasitas diperkirakan mencapai 429,1 GW dengan output teknologi sebesar 1090,71 TWh, memerlukan investasi sebesar 116,2 miliar USD pada tahun 2050. Skenario ini memenuhi target peta jalan hidrogen IFHE dengan kontribusi hidrogen sebesar 3,73% terhadap permintaan energi Indonesia pada tahun 2050. Selain itu, pangsa energi terbarukan meningkat dari 13,6% pada 2024 menjadi 83,8% pada 2050. Skenario CPO merencanakan penghapusan bertahap PLTU mulai tahun 2030 hingga penghapusan penuh pada tahun 2055. Pada tahun 2050, kapasitas diproyeksikan mencapai 406,9 GW, dengan output teknologi sebesar 1090,71 TWh, dan total investasi sebesar 114,6 miliar USD. Pangsa batu bara menurun secara signifikan setelah tahun 2036. Dari skenario ini, PLTU memegang pangsa terbesar listrik antara 2024 dan 2036 tetapi mengalami penurunan tajam setelahnya, dengan sumber energi air dan panas bumi mengambil alih. Skenario CPO menjadi opsi paling layak dari perspektif investasi ketika mempertimbangkan kebijakan penghapusan batu bara. Skenario PRO menekankan pada sumber energi terbarukan yang stabil seperti panas bumi, tenaga air, dan energi nuklir sambil menghapuskan batu bara. Pada tahun 2050, kapasitas total akan mencapai 367,1 GW, dengan kebutuhan investasi sebesar 151,4 miliar USD. Meskipun kapasitas panas bumi dan tenaga air stabil, efisiensi nuklir menonjol, menyumbang 29,54% dari energi dengan hanya 12,8% dari total kapasitas, menyoroti output tinggi relatif terhadap biaya investasi. Penelitian ini menawarkan dua hal baru dibandingkan penelitian sebelumnya. Pertama, penelitian ini secara khusus memodelkan sumber energi unik dalam bentuk hidrogen antara tahun 2024 hingga 2050. Kedua, penelitian ini menyediakan model untuk sektor kelistrikan Indonesia yang memperhitungkan penghapusan batu bara pada 2030. Temuan dari penelitian ini akan memberikan perspektif baru mengenai output dari kebijakan energi Indonesia saat ini dan membantu pemangku kepentingan serta pembuat kebijakan untuk memahami kelayakan dan implikasi ekonomi dari penghapusan batu bara serta transisi ke energi terbarukan melalui sektor kelistrikan.