digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Curah hujan merupakan karakteristik utama yang menggambarkan cuaca dan musim di Indonesia. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola curah hujan, salah satunya adalah angin muson yang menjadi penentu waktu musim kering dan musim hujan di Indonesia. Angin muson mempengaruhi pergerakan uap air di atmosfer, yang sering direpresentasikan sebagai Precipitable Water Vapor (PWV). Untuk mengestimasi nilai PWV, GNSS (Global Navigation Satellite System) menjadi alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan resolusi spasial dan resolusi temporalnya yang tinggi. Dalam kasus ini, pengamatan GNSS dilakukan dengan menggunakan InaCORS (Indonesia Continuously Operating Reference Station) yang tersebar di Indonesia. Akan tetapi, distribusi InaCORS saat ini mempunyai persebaran yang padat di wilayah Indonesia bagian selatan. Hal ini menjadi salah satu alasan untuk batasan lokasi penelitian. Peneliti mempunyai hipotesis bahwa PWV dan curah hujan mempunyai hubungan yang erat dan dipengaruhi dengan pergerakan dari angin muson. Metode yang digunakan untuk menggali hubungan tersebut adalah metode lagged correlation (cross correlation) dan wavelet coherence. Kedua metode ini dapat menggambarkan dan menguantifikasikan hubungan yang ada serta menunjukkan apakah ada jeda waktu yang muncul. Data yang digunakan adalah data pengamatan InaCORS sebagai data PWV dan data GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) sebagai data curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pola untuk korelasi dan jeda waktu di wilayah selatan Indonesia. Nilai korelasi akan semakin berkurang ke arah timur dan nilai jeda waktu sebesar 1 pentad berada di sebagian Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Fenomena tersebut disebabkan pengaruh orografis dan pergerakan angin muson yang bekerja di daerah tersebut. Nilai korelasi juga menunjukkan adanya pola berdasarkan pergerakan angin muson, di mana korelasi tertinggi saat muson barat dan terendah saat muson timur. Selain itu, hasil wavelet coherence menunjukkan bahwa sampel stasiun di Kepulauan Nusa Tenggara mempunyai nilai koherensi yang tidak sekuat sampel stasiun lainnya. Hal ini dapat disebabkan efek angin muson barat yang lemah dan efek ENSO yang kuat di Kepulauan Nusa Tenggara.