digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

COVER Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 1 Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 2 Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 3 Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 4 Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 5 Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

PUSTAKA Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

LAMPIRAN Trinah Wati
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Jumlah kejadian dan intensitas anomali iklim dan cuaca ekstrem semakin meningkat akibat perubahan iklim, hal tersebut menimbulkan risiko bagi manusia dan sistem alam. Upaya untuk menurunkan peningkatan risiko bencana akibat meningkatnya kejadian anomali iklim dan cuaca ekstrem sangat diperlukan. Dua pendekatan dalam analisis perubahan iklim yakni top-down berdasarkan skenario proyeksi hasil-hasil simulasi Global Climate Model (GCM) dan bottom-up berdasarkan analisis data observasi iklim baseline. Kebutuhan data curah hujan hingga 100 tahun pada tahapan dokumentasi kejadian ekstrem dengan pendekatan bottom-up diperlukan untuk analisis risiko bencana hidrometeorologis seperti banjir atau kekeringan. Namun ketersediaan data observasi tidak selalu ada dan terdapat keterbatasan data observasi baik panjang data, kerapatan stasiun penakar hujan, kualitas dan konsistensi terutama yang berkaitan dengan ekstrem. Adanya ketersediaan GCM seperti dataset reanalisis dapat dimanfaatkan dalam melakukan analisis iklim untuk jangka Panjang namun dengan resolusi yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode rekonstruksi data curah hujan historis dengan periode tahun 1900-2010 di wilayah Indonesia menggunakan dataset reanalisis global ERA-20C. Metode utama dalam penelitian ini menggunakan metode downscaling statistik (DS) Constructed Analogues (CA) dengan langkah waktu ke belakang (restrospektif) hingga awal abad-20. Prediktan yang digunakan dalam metode DS CA adalah dataset presipitasi yang dipilih dari hasil studi perbandingan beberapa dataset. Analisis performa dilakukan terhadap delapan dataset presipitasi produk riset di wilayah Indonesia. Dataset tersebut memiliki resolusi horizontal antara 0,1? dan 0,25? periode 2003 hingga 2015, dibandingkan dengan curah hujan observasi harian di 133 stasiun. Perbandingan menggunakan 13 metrik statistik yang dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu distribusi, urutan waktu, dan representasi nilai ekstrem. Dengan menerapkan Summation of Rank (SR), hasil menunjukkan bahwa Multi-Source Weighted-Ensemble Precipitation (MSWEP)v2 memiliki performa terbaik berdasarkan dataset produk riset untuk aplikasi klimatologi dan hidrologi di Indonesia dan menjadi dataset prediktan dalam downscaling statistik. Metode DS CA menggunakan data reanalisis ERA-20C yaitu parameter angin zonal (U) dan meridional (V) pada 850 hPa sebagai prediktor untuk rekonstruksi curah hujan. Vektor angin tersebut dikonversi menjadi variabel bidang skalar fungsi arus ? dan kecepatan potensial ? untuk mempermudah dalam pencarian analog pada tahap diagnosis menggunakan cosine similarity. Pendekatan multi-jendela (window) sebanyak tujuh window dengan 14 anggota ensemble digunakan untuk mendapatkan hasil DS CA secara probabilistik. Uji sensitivitas menggunakan metode Singular Value Decomposition (SVD) mengeliminasi tiga prediktor yaitu variabel ? pada window 2 dan 6 dan variabel ? pada window 7. Selain itu, uji sensitivtas keandalan metode CA dilakukan dengan membandingkan hasil dari tahap prognosis langkah ke belakang empat skema konstruksi analog yaitu skema MLR (regresi linier berganda), WMEAN (rata-rata terbobot), PC-MLR (regresi linier berganda dengan analisis komponen utama/PCA) dan PC-WMEAN (rata-rata terbobot dengan PCA). Hasil menunjukkan skema MLR dan PC-MLR dalam metode DS CA lebih sesuai untuk mendapatkan informasi ekstrem dengan interval waktu harian dibandingkan skema WMEAN dan PC-WMEAN. Penerapan metode DS CA dilakukan untuk rekonstruksi data periode 1900-2010 menggunakan pendekatan leave one year out pada estimasi periode 1979-2010 dan menggunakan periode baseline 1979-2010 untuk mengestimasi periode target 1900-1978. Hasil menunjukkan rata-rata klimatologi hasil rekonstruksi data overestimate dibandingkan MSWEP namun masih underestimate dibandingkan data observasi stasiun. Evaluasi secara komprehensif dilakukan dengan beberapa metrik deterministik dan probabilistik seperti Continuous Rank Probability Score (CRPS), SPREAD, korelasi, Root Mean Square Error (RMSE), Brier Skill Score (BSS) dan Area Under the Receiver Operating Characteristic Curve (AUC ROC) pada kejadian hujan threshold tertentu. Hasil CRPS, SPREAD dan korelasi ratarata ensemble menunjukkan peningkatan dengan adanya agregasi temporal. Berdasarkan BSS dan AUC ROC Keandalan estimasi kejadian hujan 5 dan 20 mm lebih baik dibandingkan hari hujan (>0,5 mm), dan keandalan kejadian hujan 50 dan 100 mm paling rendah dibandingkan hujan lainnya. Keandalan estimasi berdasarkan verifikasi probabilistik juga menunjukkan peningkatan dengan adanya agregasi temporal. Perlakuan kalibrasi Bayesian Model Averaging (BMA) dilakukan terhadap hujan dasarian meningkatkan nilai SPREAD dan RMSE namun tidak mempengaruhi nilai CRPS. Hasil kalibrasi BMA pada hujan dasarian 200 dan 300 mm meningkatkan keandalan estimasi pada 65% hingga 91% stasiun observasi dan sebagian besar wilayah Jawa berdasarkan grid. Hasil rekonstruksi data dari penelitian ini dapat diaplikasikan untuk analisis klimatologi maupun hidrologi dengan interval waktu bulanan dan dasarian. Aplikasi kejadian kekeringan berdasarkan Standardized Precipitation Index (SPI) hasil rekonstruksi periode 1960-1970 dapat dipelajari dengan lebih detail. Distribusi SPI secara spasial maupun temporal dapat mengungkap kekeringan yang terjadi disebabkan oleh kurangnya curah hujan selama musim hujan yang mengindikasikan adanya gangguan terhadap pola monsun. Hubungan secara global belum dipelajari lebih jauh, namun kekeringan dengan tingkat keparahan tersebut sangat penting dipelajari untuk antisipasi kejadian terulang kembali di masa mendatang terkait perubahan iklim.