Penggunaan transportasi, aktivitas industri dan ekonomi lainnya telah
meningkatkan dampak pencemaran udara di Kota Bandung. Dampak pencemaran
udara dapat berpotensi meningkatkan angka kematian absolut dan kanker pada
manusia. Untuk itu, upaya pengendalian pencemaran udara di Kota Bandung perlu
dilakukan, diantaranya dengan penyusunan WPPMU (Wilayah Perlindungan dan
Pengelolaan Mutu Udara). WPPMU bertujuan untuk menganalisis pencemaran
udara dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di sebuah kota dengan melihat
wilayah/area yang lebih kecil, mengetahui wilayah mana yang paling tercemar dan
paling prioritas untuk dikendalikan. Terdapat 2 (dua) faktor yang dianalisis yaitu
faktor kerentanan (vulnerability) diperoleh dari hasil nilai rata-rata dari 5 variabel
yaitu variabel kepadatan penduduk, bentang alam, elevasi, kecepatan angin dan tata
guna lahan. Dan faktor ancaman (hazard) didapatkan hasil nilai rata-rata dari 2
variabel yaitu variabel emisi dan konsentrasi pencemaran udara di Kota Bandung.
Nilai skor risiko (risk) diperoleh dari perkalian dua faktor kerentanan (vulnerability)
dan ancaman (hazard). Kualitas udara di sebuah wilayah ditentukan oleh emisi,
kondisi meteorologi, kondisi topografi dan tingkat dispersi di wilayah tersebut.
Parameter pencemar yang diteliti adalah SO2, NO2 dan PM10. Untuk mengetahui
tingkat dispersi, dalam penelitian ini, digunakan perangkat lunak AERMOD dan
ArcGIS. Penelitian ini menggunakan data inventarisasi beban emisi Kota Bandung
pada tahun 2015 dari jenis sumber titik (mall/pusat perbelanjaan, hotel, dan rumah
sakit/klinik), sumber area (pasar), sumber garis (transportasi darat) dan data primer
konsumsi bahan bakar LPG dari sumber pemukiman kemudian data sumber
tersebut diproyeksi ke tahun 2020. Kota Bandung dibagi kedalam 167 area dengan
luas 1 km x 1 km. Hasil pengumpulan data di Kota Bandung dengan metode
wawancara terkumpul 145 responden dimana rata-rata konsumsi bahan bakar LPG
dari sumber pemukiman adalah 4,7 kg/bulan/orang. Hasil simulasi model
AERMOD dari 195 sumber emisi berupa jalan adalah dispersi pencemar udara SO2,
NO2 dan PM10 pada musim kemarau di Kota dari Tenggara ke Barat Laut mengikuti
pola arah angin dominan dan konsentrasi maksimum secara berurutan adalah 49,24 µg/m3, 87,60 µg/m3
dan 256,33 µg/m3
. Konsentrasi maksimum terjadi di 4
administrasi kecamatan yakni kecamatan Rancasari, Bojongloa, Sukasari dan
Regol. Hasil model menunjukkan kualitas udara Kota Bandung pencemar udara
PM10 melewati baku mutu udara ambien pada PP Nomor 22 tahun 2021 sebanyak
5 grid yang masuk ke dalam 5 administrasi kecamatan yaitu Bojongloa Kidul,
Astana Anyar, Regol, Lengkong, Bandung Kidul, Babakan Ciparay dan Bandung
Kulon kecuali untuk NO2 dan SO2 waktu pengukuran rata-rata 24 jam selama bulan
Agustus. Pencemaran udara SO2 Kota Bandung menunjukkan kategori risiko
rendah dan sedang dan tidak termasuk WPPMU prioritas. Pencemar udara NO2
terdapat 7 grid dan 9 grid pencemar udara PM10 yang masuk kedalam WPPMU
prioritas. Grid ini masuk kedalam 11 administrasi kecamatan yakni Sukajadi,
Cicendo, Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Regol, Bojongloa
Kidul, Astana Anyar, Bandung Kidul, Lengkong dan Sumur Bandung. Faktor
kerentanan pencemaran udara dari kepadatan penduduk, kecepatan angin, elevasi,
bentang alam dan tata guna lahan menunjukkan kerentanan pencemaran udara di
Kota Bandung sangat tinggi. Grid yang melewati baku mutu udara ambien kelas II
sebanyak 5 grid mengalami turun kelas dari WPPMU kelas II berubah menjadi
WPPMU kelas I yang masuk ke dalam 7 wilayah administrasi kecamatan yaitu
Bojongloa Kidul, Astana Anyar, Bandung Kidul, Regol, Lengkong, Babakan
Ciparay dan Bandung Kulon.