Banjir merupakan salah satu bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia, namun
pemetaan kawasan rawan banjir masih menjadi tantangan, karena wilayah yang luas dan variasi
curah hujan yang tinggi. Geomorphology Flood Index (GFI) merupakan salah satu metode empirik
untuk memetakan kawasan rawan banjir, Flood Hazard Mapping (FHM), yang potensial untuk
menjawab tantangan tersebut. Namun, GFI hanya meninjau potensi banjir dari sisi topografi saja
dan belum melibatkan hujan ekstrem yang memiliki variasi spasial tinggi di Indonesia. Penelitian
ini dilakukan untuk mengembangkan metode GFI dengan menjadikan curah hujan ekstrem sebagai
salah satu masukkannya.
Penelitian ini mengusulkan dua indeks hujan ekstrem sebagai masukkan dalam GFI Modifikasi
yaitu: IP-A dan IP-B. IP-A dan IP-B masing-masing didefinisikan sebagai ???????????? ???? ???????????????????????????????????? ????
???????????? dan ???????????? ???? ???????????????????????????????????????????????????????????????? ???? ????????????. Px merupakan curah hujan dengan periode ulang tertentu, P5
dan P100 masing-masing merupakan curah hujan dengan periode ulang 5 tahun dan 100 tahun,
serta ???????????????????????????????????????????? merupakan rata-rata curah hujan seluruh wilayah Indonesia untuk periode ulang 100
tahun. Masing-masing periode ulang tersebut diestimasi dengan data Global Precipitation
Measurement (GPM) dan metode Generalized Extreme Value (GEV). Selanjutnya, nilai Ip-A dan
Ip-B bersama data DEMNAS digunakan dalam perhitungan GFI modifikasi untuk mendapatkan
luasan banjir.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode Ip-A dan Ip-B memiliki hasil yang berbeda. Pada
saat periode ulang 100 tahun, GFI modifikasi dengan Ip-A akan menghasilkan luasan banjir yang
sama dengan GFI konvensional. Sedangkan GFI modifikasi dengan Ip-B yang lebih sensitif
terhadap variasi spasial curah hujan ekstrem. Sebagai contoh, Ip-B di Jawa memiliki nilai yang
berbeda dengan Maluku. Daerah Maluku memiliki rata-rata curah hujan ekstrem tertinggi (323,91
mm/hari) dan daerah Jawa memiliki rata-rata curah hujan ekstrem terendah (188,11 mm/hari) pada
periode ulang 100 tahun. GFI Modifikasi dengan Ip-B menghasilkan luasan potensi banjir yang
lebih luas di Maluku dan kecil di Jawa jika dibandingkan dengan GFI konvensional. Hal ini
menunjukkan bahwa Ip-B menghasilkan GFI Modifikasi yang lebih sensitif terhadap variasi
spasial hujan ekstrem. Hasil ini diharapkan dapat menghasilkan pemetaan potensi banjir yang lebih
akurat di Indonesia.