digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Raedi Dermawan Putra
PUBLIC Perpustakaan Prodi Arsitektur

Sejak masa penjajahan Belanda hingga masa kini, Kota Bandung telah berkembang menjadi kota metropolitan yang perkembangannya berorientasi kepada manusia dan cenderung tidak berwawasan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari banyak didirikannya struktur fisik berupa bangunan di Kota Bandung. Dampak yang timbul dari kondisi tersebut yaitu adanya permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah ruang hijau di Kota Bandung, seperti meningkatnya suhu udara, memburuknya kualitas air tanah, dan meningkatnya kadar polutan di udara. Tidak hanya itu, pada masa pengembangannya, pembangunan struktur fisik di Kota Bandung juga tidak memperhatikan benda cagar budaya yang dimiliki karena rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap benda cagar budaya, khususnya benda cagar budaya yang berbentuk bangunan. Selain itu, hilangnya dan memburuknya kualitas fisik benda cagar budaya di Kota Bandung juga disebabkan oleh kurangnya konsistensi dari peraturan yang mengatur konservasi benda cagar budaya. Kota Bandung yang lekat dengan sejarah perkeretaapian meninggalkan satu warisan sejarah berupa kompleks gudang penyimpanan yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan alat dan barang dalam menjalankan kegiatan perkeretaapian pada masa pemerintahan Belanda di Pulau Jawa, yaitu Gudang Persediaan Cikudapateuh. Gudang yang beroperasi sejak tahun 1928 ini memiliki sejumlah peristiwa dimulai dari ketika digunakan oleh jawatan kereta api Belanda, Staatsspoorwegen (SS), lalu berpindah tangan ke Rikuyu Sokyoku saat kependudukan Jepang, hingga akhirnya mulai terbengkalai pada tahun 1987 ketika sudah diambil alih oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) sejak kemerdekaan. Gudang ini menduduki lahan seluas 20 hektar yang berada di tengah kawasan permukiman padat penduduk di Kota Bandung. Lahan yang didominasi oleh area hijau ini berpotensi menjadi ruang terbuka hijau baru di Kota Bandung dengan 21 bangunan bersejarah bertipologi gudang beserta elemen bersejarah lain seperti rel kereta api, tiang telegraf, crane, bahkan vegetasi-vegetasi liar yang terdapat pada lahan. Warisan sejarah yang dimiliki lahan membuat lahan ini memiliki nilai sejarah yang tinggi sehingga perencanaan dan perancangan harus berbasis pendekatan historic urban landscape. Berdasarkan hasil analisis berskala makro dan mikro yang dilakukan terhadap lahan, pengumpulan data mengenai rencana pengembangan oleh pemilik lahan dan pengembang, rekomendasi terhadap ruang terbuka baru di Kota Bandung, serta studi pustaka yang dilakukan merumuskan kriteria perencanaan dan perancangan yang mengharuskan lahan untuk dikembangkan menjadi ruang terbuka yang didominasi oleh penghijauan serta mengakomodasi fasilitas rekreasi sekaligus edukasi mengenai sejarah perkeretaapian tanpa melupakan keharusan lahan dalam mengelola air hujan dan wastewater. Perencanaan yang diterapkan pada ruang terbuka hijau ini mengaplikasikan konsep dan strategi perancangan yang menjadikan ruang lanskap sebagai wadah untuk mempelajari dan mengeksplorasi sejarah yang terkait dengan lahan selain melalui fasilitas-fasilitas yang diprogramkan, yaitu fasilitas rekreasi, edukasi, dan komersil. Selain itu, perencanaan juga dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah yang berpengaruh terhadap rencana struktur lahan, tata hijau, dan penggunaan materialnya. Perancangan yang dilakukan pada lahan memiliki strategi untuk mengembalikan karakter lanskap Kota Bandung yang berpengaruh kepada pemilihan dan penanaman tanaman, mempertegas visual objek bersejarah yang terdapat pada lahan, serta memberikan pencerahan edukasi sejarah kepada pengunjung melalui perancangan lanskapnya. Perancangan ruang terbuka hijau ini memiliki tujuan akhir yaitu untuk memberikan pemahaman dan pandangan baru kepada masyarakat Kota Bandung mengenai pentingnya benda cagar budaya sebagai salah satu aspek pembentuk identitas kota.