digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

COVER Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 1 Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 2 Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 3 Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 4 Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 5 Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

PUSTAKA Ahmad Dhuha Habibullah
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Suhu laut telah mengalami peningkatan selama abad ke-20 dan diprediksi akan tetap meningkat selama abad ke-21. Secara bersamaan, terdapat juga fenomena ekstrem pemanasan laut dengan waktu lebih singkat yang dikenal sebagai Marine Heatwaves (MHWs). MHWs merupakan periode ketika suhu laut melewati persentil ke-90 dari rata-rata klimatologisnya. Faktor pembangkit terjadinya MHWs berbeda-beda, bergantung pada lokasi dan waktu kejadian. Namun dengan data yang panjang, faktor dominan yang memengaruhi kejadian MHWs dan bagaimana perubahannya seiring dengan peningkatan suhu laut global dapat diidentifikasi. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana tren dan variabilitas MHWs di wilayah perairan Indonesia pada tahun 1982-2020. Data yang digunakan adalah Daily Optimum Interpolation Sea Surface Temperature (DOISST) v2.1 dengan resolusi spasial 0,25?. Lokasi penelitian adalah perairan Indonesia dan sekitarnya dengan batas 16?LS-16?LU dan 90?BT-15?BT. Analisis variabilitas akan dilakukan dengan mengurai setiap variabilitas yang independen dengan metode Empirical Orthogonal Function (EOF). Setiap mode yang dominan akan dikorelasikan dengan fenomena iklim yang mewakili sehingga dapat dijelaskan fenomena apa saja yang dominan memengaruhi variabilitas MHWs di Indonesia. Pada masing-masing grid, tren dianalisis dengan membandingkan perbedaan kondisi MHWs pada tahun 1982-1999 dan 2003-2020 untuk meminimalisir bias akibat ketidakteraturan kejadian MHWs. Untuk melihat kondisi rata-rata pada suatu wilayah, analisis tren kejadian MHWs dilakukan dengan metode least-square. Dari hasil yang didapat, diketahui bawha variabilitas MHWs di Indonesia secara dominan dipengaruhi oleh kejadian ENSO. Terdapat tiga mode EOF dominan dengan lokasi dan intensitas yang berbeda-beda. EOF mode pertama menjelaskan 27,3 % dari total varians MHWs dengan pusat anomali berada di wilayah selatan Jawa. Korelasi maksimum antara Principal Component 1 (PC1) dan indeks Niño 3.4 (r=0,41) terjadi pada jeda waktu 7 bulan. Dugaan utama penyebab korelasi tersebut adalah telekoneksi laut antara Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang didorong oleh kejadian ENSO. Terdapat juga pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) pada mode pertama karena lokasinya yang berada di timur Samudera Hindia. Korelasi maksimum antara PC1 dan Dipole Mode Index (DMI) terjadi tanpa adanya keterlambatan (r=-0,21). Sementara itu mode kedua menjelaskan sebesar 13,2 % dari total varians MHWs dengan pusat anomali berada di bagian barat Samudera Pasifik. EOF mode ketiga menjelaskan sebesar 7,2 % dari total varians MHWs di daerah penelitian, dengan pusat anomali di Laut Cina Selatan. Pengaruh ENSO terhadap kejadian MHWs di mode ketiga tiba dengan keterlambatan 6 bulan (r=0,4) dan pengaruh IOD tiba dengan keterlambatan 2 bulan (r=-0,24). MHWs dengan kategori I (sedang) paling sering terjadi di bagian barat Samudera Pasifik dengan akumulasi durasi mencapai 6 tahun dari 39 tahun panjang data yang digunakan. MHWs kategori II (kuat) paling sering terjadi di wilayah selatan Jawa dengan akumulasi durasi mencapai 8 bulan, disusul oleh kategori III (parah) yang paling sering terjadi di Laut Cina Selatan dengan akumulasi durasi mencapai 30 hari. MHWs kategori IV (ekstrem) sangat jarang terjadi, dengan durasi terpanjang ditemukan di wilayah Laut Andaman (20 hari akumulasi durasi). Didapatkan juga bahwa telah terjadi peningkatan durasi dan frekuensi kejadian MHWs, terutama di ketiga wilayah yang dominan berdasarkan hasil perhitungan EOF. Akumulasi durasi tahunan di wilayah barat Samudera Pasifik mengalami peningkatan sebesar 24 hari per dekade, selatan Jawa 20 hari per dekade, dan Laut Cina Selatan 14 hari per dekade. Ini berarti terdapat peningkatan 50 hingga 100 hari MHWs pada akhir tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 1982. Frekuensi kejadian MHWs di wilayah barat Samudera Pasifik telah mengalami peningkatan sebesar 1,6 kejadian tahunan per dekade, selatan Jawa sebesar 0,8 kejadian tahunan per dekade, dan Laut Cina Selatan 1,4 kejadian tahunan per dekade. Ini berarti terdapat peningkatan jumlah kejadian MHWs sebanyak 3 hingga 6 kejadian tahunan pada akhir tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 1982.