digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 93 kota. Kota-kota yang memiliki dinamika perkembangan yang tinggi berada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kota merupakan ruang yang bersifat dinamis yang perubahannya dipengaruhi oleh posisi strategis, aksesibilitas, pertumbuhan ekonomi, ketersedian infrastruktur, sosial budaya, politik, dan urbanisasi. Bukittinggi merupakan salah satu kota yang memiliki dinamika pertumbuhan tinggi di Sumatera Barat. Selama ini berdasarkan tulisan sejarah kota yang menggunakan perspektif sosial (pemerintahan, ekonomi, pendidikan), dipercaya bahwa Kota Bukittinggi adalah kota bentukan Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk menuliskan sejarah perkembangan Kota Bukittinggi sejak cikal bakalnya, sekitar tahun 1600-an hingga tahun 2016, dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yakni perspektif ruang dan budaya. Kota Bukittinggi mempunyai budaya khas yang berbeda dengan sebagian besar kota di dunia karena keberadaan masyarakat dengan budaya matrilineal yang terbesar di dunia. Penelitian ini memperkaya penelitian sejarah perkembangan kota tradisional Indonesia yang selama ini hanya terbatas kota pedalaman di Pulau Jawa dengan budaya patrilineal. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika dan multidisiplin. Sumber data dari oral history, tambo, arsip, peta dokumen tua, peraturan dan perundangundangan, serta sumber lainnya yang didapatkan dari Indonesia dan dari perpustakaan di Belanda. Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan Kota Bukittinggi digunakan metode analisis eksplanatoris dan analisis overlay. Peta-peta perkembangan kota dibuat kembali dengan menggunakan software arc GIS. Hasil penelitian menunjukkan stadia perkembangan luas administrasi Kota Bukittinggi dari masa cikal bakal tahun 1600-an (Nagari Kurai) hingga tahun 2016 secara de facto adalah sama. Dalam sejarah secara de yure ada dua kali peraturan perluasan kota, yakni perluasan kota pada masa Kolonial Jepang tahun 1943 dengan nama baru Bukittinggi Shi Yaku Sho, dan PP No. 84 Tahun 1999 tentang perluasan Kota Bukittinggi.ii Stadia perubahan struktur dan pola ruang dianalisis dengan menggunakan sebelas peta. Struktur ruangnya dari masa ke masa terlihat membentuk pola linear sepanjang jalan dan terserak; kosentrik dan terserak; radial kosentrik; radial kosentrik dan terserak; serta pola kosentrik yang lebih luas dan padat (mengisi ruang yang kosong/interstisial). Sementara itu, pola ruang Kota Bukitinggi dari masa ke masa membentuk pola ruang kota pertanian; pola ruang perkotaan-pola ruang kota pertanian; dan pola ruang perkotaan. Penggunaan lahannya pada masa penjajahan mengikuti kebijakan tanam paksa/ komoditas ekspor dan tanaman keperluan perang. Elemen ruang Kota Bukittinggi dari masa prakolonial hingga 2016 masih tetap terjaga, walaupun sebagian dalam keadaan rusak dan berubah bentuk menjadi lebih modern. Tonggak perkembangan Kota Bukittinggi dimulai dari pemukiman awal di Nagari Kurai V Jorong sekitar tahun 1600-an. Terdapat 29 (dua puluh sembilan) tonggak penting perkembangan kota, diantaranya pembangunan Pasar Aur Kuning tahun 1983 di bagian timur kota yang membuat hasil kerajinan Bukittinggi semakin mendunia ke negara tetangga dan menjadi sentra grosir untuk wilayah Sumatera Tengah. Budaya matrilineal sebagai struktur fundamental dalam pembentukan dan perkembangan kota dapat dilihat dari penyelesaian masalah batas dan perluasan kota. Penyelesaian permasalahan dengan konsep land banking bagi anak cucu masyarakat Kurai serta konsep batas adat nan salingka nagari, nagari nan salingka aua oleh pemerintah tradisional Kurai mengembalikan luas Bukittinggi seperti aslinya tanpa menghambat pembangunan. Secara teoretis, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap konsep ruang kota tradisional pedalaman Minangkabau, yang diberi nama konsep ruang adat basandi syarak. Konsep ini dicirikan dengan balai adat yang berdekatan dengan masjid jamik. Penelitian ini memberikan pengayaan bahwa tidak selamanya kota tradisional yang bertahan adalah kota yang berbasis prosumtif/pertanian namun juga kota konsumtif/perdagangan. Penelitian ini juga memperkaya teori inland city Indonesia, yang menyatakan bahwa inland city tidak selalu identik dengan kota pertanian namun juga kota perdagangan.