digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bermunculannya toko parfum isi ulang di seluruh Indonesia dalam 20 tahun terakhir menyebabkan meningkatnya permintaan minyak parfum impor. Oleh karena itu, berdirinya PT Harkasha Kurnia Abadi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan minyak wangi impor. Dalam prosesnya, PT HKA menghadapi beberapa masalah bisnis, yakni minyak wangi dengan perputaran barang yang slow moving, minyak wangi dengan rasio perputaran persediaan 0 dan minyak wangi dengan rasio perputaran persediaan yang undefined. Sayangnya, masalah ini menyebabkan menurunnya service level ataupun menyebabkan dead stock. Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut dan memberikan beberapa solusi yang tepat. Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis memiliki 2 tujuan utama. Pertama yakni menemukan dan memahami masalah bisnis utama, dan yang kedua yakni menentukan cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah tersebut. Kajian Business Situational Analysis dan Current Reality Tree menunjukkan bahwa masalah utama berasal dari internal perusahaan. Karyawan PT HKA tidak menguasai dan menerapkan teori dasar Inventory Management. Masalah ini secara tidak langsung menurunkan Service Level. Untuk mengatasi masalah ini, program pelatihan dengan menggunakan teori Reinforcement harus dilakukan. Teori ini menyelaraskan program dengan tujuan perusahaan, yaitu untuk mengadaptasi sistem inventory control yang paling tepat. Dalam menemukan sistem inventory control yang paling tepat, ada tiga metode yang harus digunakan. Pertama, Inventory Classification menunjukkan bahwa perusahaan perlu mengutamakan Barang Kelas A dari Klasifikasi ABC dalam perhitungan pada metode selanjutnya. Pasalnya, Barang Kelas A memiliki kontribusi terbesar terhadap pendapatan perusahaan. Kedua, setelah melakukan perhitungan Demand Forecasting, peramalan Exponential Smoothing dengan 0.9 ? harus dipilih oleh perusahaan. Hal tersebut dikarenakan metode ini memiliki MAD paling rendah diantara yang lainnya. Ketiga, menurut perhitungan Inventory Model, dapat disimpulkan bahwa model P-model lebih disukai setelah dilakukannya analisis sensitivitas. Pasalnya, jika permintaan meningkat sebanyak 15%, model ini masih bisa memenuhi permintaan. Selain itu, total biayanya tidak berbeda secara signifikan dengan Q-model.