digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam kelima sila dari Pancasila adalah perwujudan sebuah identitas bangsa Indonesia yang menjadi ciri khas (archetype) dan pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia. Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 pada sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dimana pada pidatonya beliau menyampaikan intisari kelima sila dari Pancasila adalah gotong royong. Sejak tahun 1975, Pancasila sudah menjadi salah satu mata pelajaran dan mata kuliah wajib dalam pendidikan formal di Indonesia. Namun pada perkembangannya, Pancasila kerap mengalami perubahan nama pada kurikulum menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Kewarganegaran (PKn), hingga Kewarganegaraan. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menetapkan Pancasila tidak lagi menjadi mata pelajaran atau mata kuliah tersendiri pada kurikulum pendidikan formal di seluruh tingkatannya mulai dari sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Hal inilah yang menjadi asumsi awal bagi peneliti sebagai cikal bakal lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila pada sebuah generasi. Undang-undang nomor 12 tahun 2012 menetapkan kembali Pancasila menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Sejalan dengan penetapan undang-undang tersebut, perubahan kurikulum tahun 2013 mengembalikan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah dasar dan menengah. Namun, jika diperhatikan kembali terdapat kurun waktu hampir 10 tahun dimana Pancasila secara praksis tidak lagi diketahui, dipelajari, dipahami apalagi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara khusus. Generasi muda Indonesia sebagai bagian dari generasi digital native memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap perkembangan teknologi. Namun, seiring dengan hal tersebut berbagai tindakan seperti ketidakjujuran, berkurangnya rasa hormat, perundungan, perilaku menyimpang, kecenderungan mengadopsi nilai budaya asing, melemahnya idealisme dan patrionisme, serta meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme pada generasi digital native Indonesia. Berbagai kasus tersebut menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur Pancasila tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Jika disinyalir generasi digital native Indonesia ini akan menjadi pemimpin dan penentu kebijakan bangsa di tahun 2035 maka diperlukan berbagai upaya di tiap lini kehidupan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila. Salah satu upaya yang dilakukan oleh peneliti adalah merespon fenomena permasalahan tersebut dalam penelitian disertasi. Hasil yang diharapkan adalah sebuah alternatif solusi agar generasi digital native Indonesia dapat mengenal, mengetahui, mempelajari, memahami dan menerapkan gotong royong sebagai nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti menyadari bahwa generasi digital native Indonesia memiliki batasan umur yang sangat lebar. Pada penelitian disertasi ini, peneliti memilih kelompok eksperimen dengan rentang usia kelahiran tahun 2007 hingga 2009, dengan karakter menyukai kolaborasi dan ingin terlibat dalam setiap keputusan. Disamping itu, generasi digital native Indonesia juga memiliki indigenous berupa kolektivisme dan komunalitas. Kata-kata kunci ini dapat menjadi pintu gerbang dan peluang dalam memperkenalkan kembali gotong royong sebagai nilai luhur Pancasila. Gotong royong sebagai esensi dari nilai-nilai luhur Pancasila identik dengan pendidikan budi pekerti yakni bagaimana cara berpikir, bertutur, bersikap, berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Jauh sebelum Pancasila lahir, bangsa Indonesia memiliki warisan budaya lisan turun temurun dalam mendidik budi pekerti tersebut. Dongeng merupakan salah satunya. Melalui dongeng yang sarat akan pesan moral namun disampaikan dengan cara menghibur diyakini oleh peneliti dapat menjadi sebuah pendekatan yang efektif dalam upaya menanamkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi digital native Indonesia. Penelitian disertasi berjudul,”Media Narasi Visual Dongeng Kolaboratif sebagai Representasi Generasi Digital Native Indonesia”, bertujuan untuk mendapatkan konsep sebuah perancangan dengan luaran produk berupa prototype media narasi visual sebagai ruang kolektif yang merepresentasikan generasi digital native Indonesia melalui pendekatan dongeng kolaboratif dengan konten nilai-nilai luhur Pancasila sehingga dapat dikenal, dipahami, dan diterapkan kembali dalam kehidupan sehari-hari mereka. Proses penelitian disertasi ini disusun dan dilaksanakan melalui tahap pengkajian dan tahap perancangan. Tahap pengkajian menggunakan metode campuran (mixed method) dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dimana peneliti melakukan studi literatur, observasi, penyebaran kuesioner, wawancara dalam mengumpulkan data-data. Selanjutnya data-data tersebut disusun dan dianalisa untuk menjadi rujukan peneliti di tahap berikutnya. Metode eksperimental partisipatori dilakukan dengan melibatkan secara langsung generasi digital native Indonesia yang diwakili kelompok eksperimen. Berbagai eksperimen menghasilkan sintesa-sintesa yang menjadi kata kunci untuk tahap perancangan. Metode design thinking digunakan pada tahap perancangan dengan merujuk pada hasil elaborasi kajian dan sintesa eksperimen. Hasil penelitian disertasi ini berupa media narasi visual sebagai representasi generasi digital native Indonesia, dimana luaran produk (output) berupa prototype aplikasi berbasis permainan sederhana dongeng kolaboratif dengan konten nilai-nilai luhur Pancasila.