Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalam kelima sila dari Pancasila adalah perwujudan sebuah identitas bangsa Indonesia yang
menjadi ciri khas (archetype) dan pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia. Pancasila pertama
kali diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 pada sidang Badan Penyelidik
Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dimana pada pidatonya beliau
menyampaikan intisari kelima sila dari Pancasila adalah gotong royong.
Sejak tahun 1975, Pancasila sudah menjadi salah satu mata pelajaran dan mata kuliah wajib
dalam pendidikan formal di Indonesia. Namun pada perkembangannya, Pancasila kerap
mengalami perubahan nama pada kurikulum menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Kewarganegaran (PKn), hingga Kewarganegaraan.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menetapkan
Pancasila tidak lagi menjadi mata pelajaran atau mata kuliah tersendiri pada kurikulum
pendidikan formal di seluruh tingkatannya mulai dari sekolah dasar, menengah hingga
perguruan tinggi. Hal inilah yang menjadi asumsi awal bagi peneliti sebagai cikal bakal
lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila pada sebuah generasi.
Undang-undang nomor 12 tahun 2012 menetapkan kembali Pancasila menjadi mata kuliah
wajib di perguruan tinggi. Sejalan dengan penetapan undang-undang tersebut, perubahan
kurikulum tahun 2013 mengembalikan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah dasar dan
menengah. Namun, jika diperhatikan kembali terdapat kurun waktu hampir 10 tahun dimana
Pancasila secara praksis tidak lagi diketahui, dipelajari, dipahami apalagi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari secara khusus.
Generasi muda Indonesia sebagai bagian dari generasi digital native memiliki kemampuan
adaptasi yang luar biasa terhadap perkembangan teknologi. Namun, seiring dengan hal tersebut
berbagai tindakan seperti ketidakjujuran, berkurangnya rasa hormat, perundungan, perilaku
menyimpang, kecenderungan mengadopsi nilai budaya asing, melemahnya idealisme dan
patrionisme, serta meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme pada generasi digital
native Indonesia. Berbagai kasus tersebut menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur Pancasila tidak
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Jika disinyalir generasi digital native Indonesia ini akan menjadi pemimpin dan penentu
kebijakan bangsa di tahun 2035 maka diperlukan berbagai upaya di tiap lini kehidupan untuk
memperkenalkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila. Salah satu upaya yang dilakukan oleh
peneliti adalah merespon fenomena permasalahan tersebut dalam penelitian disertasi. Hasil
yang diharapkan adalah sebuah alternatif solusi agar generasi digital native Indonesia dapat
mengenal, mengetahui, mempelajari, memahami dan menerapkan gotong royong sebagai nilai
luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti menyadari bahwa generasi digital native Indonesia memiliki batasan umur yang sangat
lebar. Pada penelitian disertasi ini, peneliti memilih kelompok eksperimen dengan rentang usia
kelahiran tahun 2007 hingga 2009, dengan karakter menyukai kolaborasi dan ingin terlibat
dalam setiap keputusan. Disamping itu, generasi digital native Indonesia juga memiliki
indigenous berupa kolektivisme dan komunalitas. Kata-kata kunci ini dapat menjadi pintu
gerbang dan peluang dalam memperkenalkan kembali gotong royong sebagai nilai luhur
Pancasila.
Gotong royong sebagai esensi dari nilai-nilai luhur Pancasila identik dengan pendidikan budi
pekerti yakni bagaimana cara berpikir, bertutur, bersikap, berperilaku sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Jauh sebelum Pancasila lahir, bangsa Indonesia memiliki
warisan budaya lisan turun temurun dalam mendidik budi pekerti tersebut. Dongeng
merupakan salah satunya. Melalui dongeng yang sarat akan pesan moral namun disampaikan
dengan cara menghibur diyakini oleh peneliti dapat menjadi sebuah pendekatan yang efektif
dalam upaya menanamkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi digital native
Indonesia.
Penelitian disertasi berjudul,”Media Narasi Visual Dongeng Kolaboratif sebagai Representasi
Generasi Digital Native Indonesia”, bertujuan untuk mendapatkan konsep sebuah perancangan
dengan luaran produk berupa prototype media narasi visual sebagai ruang kolektif yang
merepresentasikan generasi digital native Indonesia melalui pendekatan dongeng kolaboratif
dengan konten nilai-nilai luhur Pancasila sehingga dapat dikenal, dipahami, dan diterapkan
kembali dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Proses penelitian disertasi ini disusun dan dilaksanakan melalui tahap pengkajian dan tahap
perancangan. Tahap pengkajian menggunakan metode campuran (mixed method) dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dimana peneliti melakukan studi literatur, observasi,
penyebaran kuesioner, wawancara dalam mengumpulkan data-data. Selanjutnya data-data
tersebut disusun dan dianalisa untuk menjadi rujukan peneliti di tahap berikutnya. Metode
eksperimental partisipatori dilakukan dengan melibatkan secara langsung generasi digital
native Indonesia yang diwakili kelompok eksperimen. Berbagai eksperimen menghasilkan
sintesa-sintesa yang menjadi kata kunci untuk tahap perancangan. Metode design thinking
digunakan pada tahap perancangan dengan merujuk pada hasil elaborasi kajian dan sintesa
eksperimen. Hasil penelitian disertasi ini berupa media narasi visual sebagai representasi
generasi digital native Indonesia, dimana luaran produk (output) berupa prototype aplikasi
berbasis permainan sederhana dongeng kolaboratif dengan konten nilai-nilai luhur Pancasila.