digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 1 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 2 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 3 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 4 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 5 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 6 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 7 Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira


PUSTAKA Muhammad Taufiq
PUBLIC Yoninur Almira



Di berbagai negara, khususnya dunia ketiga dan selatan global, perencanaan desa memainkan peran penting dalam mengimplementasikan strategi pengembangan wilayah. Dalam perencanaan di tingkat desa, masyarakat menginisiasi pembangunan desa melalui musyawarah atau forum komunikatif. Praktik ini disebut perencanaan deliberatif. Masyarakat duduk bersama dan berdialog untuk membuat kebijakan. Di Indonesia, deliberasi perencanaan desa diarahkan untuk merumuskan proyek pembangunan yang akan direalisasikan berdasarkan usulan masyarakat. Sebagaimana perencanaan mensyaratkan adanya desain kelembagaan, maka para ahli teori dan praktisi pendukung komunikatif yang terlibat dalam proses perencanaan lebih fokus pada aspek-aspek formal dari arena pembuatan kebijakan. Namun, dalam masyarakat, kekuasaan juga memainkan peran di tingkat informal. Keberadaan kekuasaan dalam perencanaan deliberatif telah dibahas secara luas dalam literatur. Pemahamannya saat ini lebih banyak diturunkan dari pengetahuan barat dan pada konteks perencanaan kota yang cenderung mengupayakan deliberasi formal. Hal ini tidak secara langsung dapat diterapkan di berbagai negara belahan dunia lainnya, terutama negara berkembang, di mana perencanaan lebih bercirikan informalitas. Salah satu tinjauan deliberasi yang cukup komprehensif dalam konteks perencanaan dijelaskan melalui gagasan network power in collaborative policy making DIAD (Booher dan Innes, 2002). Mereka berargumen bahwa kekuasaan terdistribusi secara merata pada semua peserta dalam bentuk sistem jaringan kekuasaan dengan menerapkan prasyarat terjadinya dialog otentik seperti diversity, interdependence dan authentic dialogue (DIAD). Gagasan DIAD digunakan dalam penelitian ini sebagai perdebatan utama. Meskipun berhasil menguraikan bagaimana kekuasaan bekerja dalam deliberasi, gagasannya belum cukup menjelaskan konteks besar mekanisme kekuasaan yang bekerja di luar arena pembuatan kebijakan. Oleh sebab itu, menjadikannya terbatas karena hanya mempengaruhi yang terjadi di dalam deliberasi formal. Penelitian selama ini menyinggungnya secara terpisah-pisah dengan mengindikasikan adanya pengaruhii arena informal terhadap produk perencanaan. Namun, hal ini belum cukup menjelaskan bagaimana kekuasaan di arena informal mempengaruhi deliberasi yang menghasilkan output di arena formal. Secara teoritis, penelitian ini berkontribusi pada debat perencanaan deliberatif di atas dengan menyajikan bahasan yang lebih spesifik, yakni konteks perencanaan desa di selatan global. Praktik musyawarah formal dan informal dianalisis untuk menjelaskan eksistensi lapis-lapis kekuasaan yang mengelilingi deliberasi perencanaan di tingkat desa. Untuk itu, kajian ini mengeksplorasi kemampuan kekuasaan seperti apa yang dimiliki masing-masing aktor; apa saja lapisan kekuasaan pada deliberasi pembuatan kebijakan dan bagaimana hal ini menjelaskan kekuasaan yang bekerja di luar praktik deliberasi formal; serta mekanisme dialog otentik (DIAD) apa saja yang terpengaruh akibat adanya relasi antar arena. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi penentu kebijakan yang terlibat dalam mengembangkan strategi perencanaan desa yang tepat di Indonesia, atau di negara lain dengan karakteristik serupa, di mana informalitas dan kekuasaan yang bekerja di dalamnya ditangani melalui proses perencanaan. Musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) Pematang Tengah, Sumatera Utara - Indonesia menjadi studi kasus dalam disertasi ini guna mengilustrasikan praktik perencanaan deliberatif. Penelitian lapangan dilakukan selama 2018-2020 mengggunakan strategi etnografi dan autoetnografi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengutaraan sejarah lisan, observasi, diskusi kelompok dan analisis dokumen. Wawancara dan pengutaraan sejarah lisan dilakukan terhadap 29 orang informan yang terdiri dari warga desa, aparatur pemerintah desa, pendamping desa, aparatur pemerintah kecamatan dan aparatur dinas kabupaten terkait. Selain itu, penelitian ini juga melibatkan informan dari kalangan akademisi untuk mengomentari hasil yang diperoleh. Observasi dilakukan pada arena formal perencanaan desa seperti pelaksanaan musrenbangdes tahunan di kantor desa, serta pada arena-arena informal di mana kelompok-kelompok warga membahas proyek pembangunan yang akan diusulkan di tingkat dusun seperti di sekitaran jalan desa, persawahan, warung, rumah warga dan pos dusun. Diskusi kelompok dilakukan terhadap beberapa kelompok seperti warga desa, aparatur pemerintah desa, aparatur pemerintah kecamatan, dan kombinasi di antaranya. Analisis dokumen dilakukan terhadap laporan pelaksanaan perencanaan desa, peraturan pemerintah, publikasi jurnal terkait dan situs berita internet. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara normatif kemampuan kekuasaan masingmasing aktor dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang memiliki kedudukan, sumber kekuasaan dan kapabilitas tertentu dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan di jalur formal. Sementara itu, secara empiris penelitian menemukan bahwa kelompok aktor yang memiliki kapabilitas sebagai pengusul kegiatan berpotensi menjadi aktor pemegang kuasa di arena informal. Di sisi lain, pendekatan kubus kekuasaan membantu dalam menjelaskan konfigurasi kekuasaan yang terjadi pada deliberasi perencanaan desa.iii Studi ini menemukan tiga lapis mekanisme kekuasaan yang bekerja di dalam, di luar dan di sisi terluar perencanaan deliberatif, yakni: (1) ‘mencari tahu dalam keterbukaan’ atau ‘figuring out in openness’ yang mengkonfirmasi terjadinya dialog otentik (DIAD) pada deliberasi formal dengan kontribusi yang lebih spesifik; (2) ‘menggiring keinginan publik’ atau ‘herding public desire’ yang menjelaskan terjadinya ‘deliberasi terputus-putus’ atau ‘disjointed deliberation’ di luar arena pembuatan kebijakan; dan (3) ‘memaksakan arah’ atau ‘forcing direction’ yang menjelaskan andil invisible actor dalam mempengaruhi jalannya deliberasi dan pembuatan kebijakan. Setiap lapisan kekuasaan memiliki relasi yang mempengaruhi lapisan lainnya. Hal ini didasarkan pada unsur dialog otentik (DIAD) yang melatar belakanginya. Selanjutnya, penelitian ini mengemukakan bahwa dalam kasus Pematang Tengah, jaringan kekuasaan dibentuk sebelum memasuki arena pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, kebijakan tidak dibuat di arena formal, tetapi telah dipersiapkan di arena informal. Studi kasus menunjukkan bahwa arena pembuatan kebijakan formal hanya menyajikan hasil musyawarah lapisan luarnya. Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh gagasan jaringan kekuasaan DIAD dan sebagian besar literatur perencanaan barat, di mana musyawarah formal digunakan untuk menghasilkan ide, pembelajaran, dan pembuatan kebijakan. Menariknya, studi ini menunjukkan bahwa gagasan tersebut lebih sesuai dengan perencanaan desa daripada tinjauan awalnya yang berdasarkan konteks perencanaan kota. Berbeda dengan perencanaan kota yang sangat intens dengan negosiasi di arena formalnya yang menyebabkan gagasan tersebut sulit diterapkan, pada perencanaan desa hal ini menjadi aplikatif karena negosiasi lebih intens berlangsung di arena informalnya. Dengan kata lain, arena-arena informal menjembatani terjadinya dialog otentik (DIAD) di arena pembuatan kebijakan.