COVER Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani BAB 1 Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani BAB 2 Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani BAB 3 Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani BAB 4 Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani BAB 5 Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani PUSTAKA Mulyono Dwiantoro
PUBLIC Resti Andriani
Genesa gas metana batubara Formasi Muaraenim dianalisis menggunakan empat
metode ilmiah yaitu: petrografi organik, komposisi kimia, geokimia organik, dan
kinetika reaksi. Sebuah pengeboran gas metana batubara dilakukan oleh Pusat
Sumber Daya Geologi Bandung di sisi barat Cekungan Sumatra Selatan, tepatnya
di Desa Muara Lawai, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra
Selatan. Tujuan pengeboran untuk meneliti karakter dan potensi gas metana
batubara di daerah penelitian. Pengeboran mencapai kedalaman 450 m yang
menembus Formasi Kasai dan Formasi Muaraenim. Formasi Kasai disusun oleh
batuan sedimen vulkanik klastik (batupasir tufaan, tufa, dan batulempung tufaan).
Formasi Muaraenim disusun oleh sedimen klastik (serpih karbonan, batupasir,
batulempung, sisipan batupasir tufaan, dan batubara). Inti batuan hasil pengeboran
berupa serpih karbonan dan batubara dimasukkan ke dalam canister dan
kemudian diukur kandungan gasnya.
Hasil pengukuran gas menunjukkan bahwa serpih karbonan Niru, Lematang dan
Babat di rentang kedalaman 87,5-129,5 m tidak mengandung gas, sedangkan
serpih karbonan Kebon di kedalaman 175 m menunjukkan kandungan gas yang
sangat rendah (0,02-0,04 cm3/g). Kandungan gas mulai signifikan dijumpai pada
batubara Benuang, Mangus, dan Suban di rentang kedalaman 201-284,5 m
(0,33-1,38 cm3/g). Kandungan gas sangat rendah juga dijumpai pada tiga lapisan
batubara terbawah (Petai, Merapi, dan Kladi) di rentang kedalaman 388-404 m
(0,05-0,10 cm3/g). Analisis komposisi gas pada serpih karbonan dan batubara
menunjukkan bahwa metana (65,60-97,91%) mendominasi dibandingkan oksigen
(0,33-31,24%) dan karbon dioksida (0,23-3,96%). Ada beberapa dugaan yang
berkembang pada bervariasinya kandungan gas tersebut, yaitu akibat peran
material organik, tingkat kematangan, dan kinetika reaksi terbentuknya gas.
Berdasarkan dugaan tersebut, maka dimunculkan tiga hipotesis, yaitu: 1) grup
maseral huminit memiliki peran utama terhadap variasi kandungan gas,
2) semakin tinggi tingkat kematangan batubara maka akan semakin besar
kandungan gas, 3) laju pemanasan dan temperatur terbentuknya gas dapat
ditentukan dari parameter kinetika.
Analisis petrografi organik menunjukkan bahwa material organik batubara
didominasi oleh grup maseral huminit (72,4-92,6 % vol.) jika dibandingkan
liptinit (5,0-19,2 % vol.) atau inertinit (1,2-15,4 % vol). Semakin tinggi
kandungan huminit maka semakin tinggi gas yang diproduksi selama proses
pembatubaraan. Huminit memiliki kemampuan memproduksi dan menyerap gas
jika dibandingkan liptinit atau inertinit. Hal tersebut karena huminit bersifat lebih
porous sehingga memiliki luas permukaan yang sangat besar dalam menyerap gas.
Tingkat kematangan material organik mencapai tahapan lignit (Rmax= 0,24-
0,31%). Semakin tinggi tingkat kematangannya maka semakin tinggi gas yang
diproduksi oleh material organik. Peran tingkat kematangan pada pembentukan
gas hanya terjadi pada batubara Benuang, Mangus, dan Suban, namun tidak pada
batubara Petai, Merapi, dan Kladi, hal ini karena material organiknya telah
mengalami oksidasi yang intensif sehingga preservasinya tidak optimal.
Hasil analisis proksimat (lengas, abu, zat terbang, dan karbon tertambat) pada
contoh batubara tidak menunjukkan perubahan nilai yang signifikan seiring
dengan kedalaman pengeboran. Pola tersebut mengindikasikan bahwa batubara
terbentuk pada kondisi diagenesa yang dicirikan minimnya pengaruh tekanan dan
temperatur selama proses pembatubaraan. Hasil analisis total organic carbon
(TOC) membuktikan bahwa semakin rendah nilai TOC maka semakin rendah gas
yang diproduksi oleh material organik. Nilai TOC pada setiap contoh batubara
sangat dipengaruhi oleh proses oksidasi, hal ini ditunjukkan dari nilai indeks
oksigen yang bervariasi. Tingginya nilai indeks oksigen mengindikasikan bahwa
preservasi pada material organik terjadi tidak optimal sehingga secara langsung
berkaitan dengan sedikitnya jumlah gas yang terbentuk. Analisis TOC
memperkuat dalam memberikan jawaban terhadap rendahnya kandungan gas pada
tiga lapisan batubara terbawah (Petai, Merapi, dan Kladi). Hasil analisis pirolisis
gas kromatografi yaitu berupa kromatogram menunjukkan bahwa komponen
hidrokarbon yang mendominasi pada batubara adalah rantai karbon pendek (C1-5),
khususnya metana (C1), jika dibandingkan terhadap rantai karbon menengah
(C6-14) dan panjang (C15+). Secara kuantitatif, analisis gas kromatografi sangat
berguna dalam menjawab bervariasinya kandungan gas pada batubara yang diuji.
Analisis penting lainnya adalah menentukan laju pemanasan dan temperatur
terbentuknya gas batubara. Berdasarkan parameter kinetika (energi aktivasi dan
faktor frekuensi) yang diperoleh dari analisis pirolisis source rock analyzer
(SRA), menunjukkan bahwa laju pemanasan terbentuknya gas batubara
pada Formasi Muaraenim sebesar 15oC/juta tahun. Selanjutnya temperatur
terbentuknya gas dapat ditentukan dari parameter kinetika dan laju pemanasan
tersebut. Terbentuknya gas pada lapisan Kebon, Benuang, Mangus, dan Suban
terjadi pada rentang temperatur geologi 82oC-107oC. Hasil penelitian memberikan
pemahaman baru tentang karakter dan genesa gas batubara di daerah penelitian,
serta bermanfaat sebagai panduan untuk pengeboran gas batubara selanjutnya ke
daerah yang diprediksi memiliki kandungan gas lebih besar.