digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Cirebon merupakan sebuah wilayah di Nusantara yang disinggahi berbagai macam budaya dan mengalami akulturasi secara turun-temurun hingga saat ini. Akulturasi, redefinisi bahkan distorsi pemaknaan budaya yang dialami Cirebon semakin memperkaya dan membentuk sebuah karakter khas yang membedakan wilayah tersebut dengan wilayah lainnya di Nusantara. Karakter ini sangat kental terlihat dari tradisi wayang kulit Cirebon yang pada saat ini sedang mengalami kemunduran karena terputusnya proses pewarisan dan berkurangnya jumlah artefak karena dimakan usia. Revitalisasi dinilai sebagai tindakan yang perlu segera dilakukan agar warisan tersebut masih tetap bisa bermakna di generasi selanjutnya. Memahami dunia wayang kulit Cirebon tidak akan terlepas dari tokoh Panakawan Sembilan yang dianggap sebagai pintu awal untuk memasuki khasanah kearifan lokal dalam pewayangan Cirebon karena tokoh-tokoh tersebut berperan sebagai media yang mengkomunikasikan kearifan dalam bahasa yang sederhana dan mudah untuk dimengerti masyarakat luas. Karakternya yang fleksibel memungkinkan untuk dilakukan pengembangan dengan lebih bebas mengikuti perkembangan zaman saat ini. Penelitian kualitatif ini membedah unsur ekstrinsik dan intrinsik dari artefak wayang kulit Panakawan Sembilan Cirebon. Unsur ekstrinsik dilakukan dengan pembedahan unsur visual menggunakan kritik seni, sementara unsur intrinsik dilakukan dengan pengkajian cerita, sejarah serta filosofi yang terkandung dalam tokoh-tokoh tersebut. Teori Hermeneutika digunakan sebagai alat untuk mendefinisi ulang kearifan yang menggunakan bahasa lampau ke bahasa masa kini. Hasil dari pemaparan data tersebut menjadi acuan awal untuk membuat Panakawan Sembilan Cirebon versi baru yang menggunakan langgam superflat dan teknis pembuatan karya yang memanfaatkan teknologi saat ini. Revitalisasi ini merupakan sebuah langkah awal untuk memahami khasanah wayang kulit Cirebon secara keseluruhan dengan sudut pandang masa kini agar mampu dipahami oleh generasi sekarang dan dapat diwariskan ke generasi selanjutnya tanpa harus mereduksi makna adiluhung yang terkandung di dalamnya.