digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Astri Rosalin
PUBLIC Yoninur Almira

Penelitian ini membahas tentang informalitas yang terjadi pada pengembangan Transit-oriented Development (TOD) atau pembangunan yang berorientasi pada titik transit sistem transportasi publik. Pendefinisian tentang pendekatan formal dan informal pada penelitian ini merujuk pada perspektif "struktur" dan "agensi" yang dikembangkan dalam teori strukturasi oleh Giddens. Pendekatan formal mengacu pada perilaku agen dalam ruang lingkup struktur sedangkan pendekatan informal yang mengacu pada tindakan agen di luar lingkup struktur. Informalitas didefinisikan sebagai suatu kondisi yang berada di luar jangkauan mekanisme pemerintah dalam berbagai tingkatan yang berbeda, sedangkan formalitas sebagai kondisi yang dapat dijangkau oleh mekanisme tersebut. Penelitian ini secara khusus akan menyoroti tentang bagaimana informalitas bekerja dalam perencanaan konsensus yang dilakukan dalam pengembangan TOD. Hal ini disoroti sejalan dengan adanya kesamaan penggunaan pendekatan perencanaan konsensus pada sejumlah kasus TOD di beberapa negara dalam mencapai kesepakatan perencanaan. TOD merupakan suatu pendekatan pengembangan sistem transportasi berkelanjutan melalui integrasi dengan pengembangan guna lahan yang melibatkan adanya pembangunan sejumlah infrastruktur. TOD telah dikembangkan di berbagai negara sejak awal tahun 90-an. Konsep ini pun mulai diadopsi dan dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2012, seiring dengan pengembangan sistem transportasi massal berbasis rel seperti MRT dan LRT. Namun perencanaan TOD di Indonesia mengalami sejumlah permasalahan karena adanya perbedaan konteks dalam upaya mengadopsi dan menerapkan keberhasilan di negara lain sehingga hingga kini kawasan TOD belum terwujud di Indonesia. Perbedaan konteks yang diangkat dalam penelitian ini adalah adanya informalitas yang terjadi di dalam proses perencanaan dan implementasi kawasan TOD.ii Pengembangan TOD yang berhasil umumnya dilakukan pada konteks formal dalam kondisi kuatnya struktur suatu negara, yang ditandai dengan adanya intervensi kebijakan pemerintah melalui sejumlah regulasi. Kondisi ini dapat mendorong tercapainya suatu kesepakatan antara aktor swasta dan pemerintah dalam mewujudkan kawasan TOD yang ideal dengan didukung dan sejalan dengan aturan yang ada. Sedangkan pengembangan TOD di Indonesia dihadapkan dengan suatu persoalan dengan adanya kondisi struktur yang lemah, ditandai dengan lemahnya aturan atau kelembagaan yang diperlukan dalam perwujudan TOD. Kondisi ketidaksiapan aturan ini menyebabkan terjadinya informalitas. Pengembangan TOD pada umumnya sarat dengan proses konsensus antarstakeholder untuk menghasilkan suatu kesepakatan pembangunan. Perencanaan melalui proses konsensus berbasis pada pengambilan keputusan melalui pendekatan perencanaan komunikatif, yang menekankan pencapaian kesepakatan perencanaan melalui perdebatan, komunikasi dan interaksi antaraktor. Salah satu teori perencanaan konsensus oleh Johan Woltjer yang diangkat dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan kasus perencanaan pembangunan infrastruktur di Belanda melalui pendekatan komunikatif, berupa kombinasi pola kolaborasi, negosiasi, dan persuasi. Namun umumnya keberhasilan proses konsensus ini terjadi pada konteks formal yang ditandai dengan adanya serangkaian intervensi kebijakan pemerintah, sehingga teori ini belum dapat menjelaskan bagaimana proses konsensus yang terjadi pada konteks adanya informalitas, khususnya dalam kasus pengembangan TOD. Di sisi lain formalitas memiliki sifat kaku yang membatasi para aktor untuk bertindak, sedangkan informalitas memiliki sifat fleksibilitas yang memungkinkan aktor untuk mengembangkan tindakan atau strategi untuk memenuhi kepentingannya di luar struktur. Adanya kelebihan dan kelemahan ini menjadi penting untuk dapat diungkap dan dijelaskan terkait dengan perencanaan konsensus. Oleh karena itu penelitian kemudian bertujuan untuk menjelaskan bagaimana informalitas bekerja dan mempengaruhi perencanaan konsensus yang terjadi dalam pengembangan TOD, dan karenanya penelitian ini penting untuk dilakukan. Penelitian ini mengangkat studi kasus pengembangan kawasan TOD yang dilakukan pada 4 (empat) proyek kereta api di Metropolitan Jakarta yang sudah berjalan sejak tahun 2012 dan telah memasuki tahap pembangunan sehingga memungkinkan untuk diteliti, dibandingkan dengan proyek TOD lain di Indonesia yang belum cukup berkembang. Pemangku kepentingan utama yang diidentifikasi sebagai agen dalam studi kasus terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, agensi transit, dan pengembang yang memiliki kepentingan dan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan perencanaan. Pertanyaan utama penelitian yang diajukan adalah bagaimana informalitas perencanaan konsensus yang terjadi pada pengembangan TOD. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara semi-terstruktur dan dataiii dari beberapa FGD, didukung dengan data sekunder berupa tinjauan terhadap kebijakan dan peraturan, serta sumber dari situs perusahaan dan berita media. Kerangka teoretik yang dikembangkan berdasarkan teori strukturasi membagi arena tindakan ke dalam 2 (dua) arena, yakni arena formal dan arena informal. Penggambaran kedua arena ini dipakai guna menunjukkan hubungan horisontal antararena, apa pilihan arena masing-masing agen dan bagaimana tindakannya dalam setiap arena. Untuk dapat mengoperasionalkan kerangka teoretik maka dalam penelitian ini juga dikembangkan kerangka analisis berdasarkan Institutional Analysis Development (IAD) oleh Ostrom untuk dapat secara lebih tajam melihat hubungan vertikal antararena tindakan. Kerangka analisis Adapted IAD (AIAD) yang dikembangkan akan menjelaskan masing-masing tindakan agen ke dalam 4 (empat) tingkat tindakan secara vertikal yakni tingkat operasional, pilihan kolektif, konstitusional, dan meta konstitusional. Tindakan agen khususnya pada tingkat operasional yang terkait dengan pengolahan dan pemanfaatan material fisik dengan demikian dapat diamati secara lebih tajam. Kerangka teoretik yang dikembangkan dalam penelitian ini perlu melihat konsep TOD secara komprehensif dan untuk itu ditempatkan 4 (empat) aspek utama dalam pengembangan TOD yakni aspek regulasi, aspek perencanaan dan desain, aspek kelembagaan, dan aspek pendanaan dan pembiayaan ke dalam kedua arena tersebut. Pengamatan pada masing-masing keempat aspek pengembangan TOD dengan mempergunakan kerangka teoretik berdasarkan teori strukturasi dan kerangka analisis AIAD dapat mengupas dan mengungkapkan bagaimana pendekatan formal dan informal terjadi dan bagaimana informalitas bekerja dalam kaitannya dengan proses konsensus yang dilakukan. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa: (i) stakeholder kunci dalam pengembangan TOD di dalam studi kasus adalah pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah, agensi transit, dan developer. Dalam kasus ini pengembangan TOD belum melibatkan pihak masyarakat lokal, penghuni atau pengguna TOD dalam pengambilan keputusan; (ii) Terdapat kekosongan dan sejumlah konflik regulasi dan belum terintegrasinya aturan transportasi dan tata ruang yang mendorong terjadinya informalitas; (iii) Terdapat indikasi perwujudan kawasan TOD melalui kasus MRT Jakarta yang mengkombinasikan pendekatan formal dan informal, dengan kasus pengembangan TOD lainnya melalui pendekatan tunggal formal dan informal belum memenuhi prinsip perencanaan dan desain TOD dan cenderung bergeser menjadi Transit-Adjacent Development (TAD); (iv) Terjadinya koordinasi antara agen transit dan pengembang di tingkat operasional, namun fungsi koordinasi pada tingkat lembaga pilihan kolektif masih mengalami kekosongan; (v) Munculnya kesepakatan pembiayaan alternatif dalam skema Land Value Capture (LVC) secara informal antara agen transit dan developer, walaupun pendanaan dan pembiayaan publik masih terbatas pada penyediaan sistem transit dan belum tersedia mekanisme LVC secara formal untuk kawasan TOD; (vi) Pendekatan informal yang terjadi umumnya didorong oleh penguasaan atas sumber daya lahan dan kepentingan untuk pengembangan proyek properti olehiv pengembang. Sedangkan arena formal belum menyediakan sumber daya yang memadai bagi pengembangan TOD; dan (vii) pada keempat kasus yang diteliti umumnya pendekatan informal yang dilakukan agen dalam melakukan konsensus tentang pengembangan kawasan TOD belum mendorong terjadinya kesepakatan keberhasilan pemenuhan fitur fasilitas publik TOD, kecuali pada kasus MRT Jakarta yang memperoleh penetapan dan wewenang pada agensi transit sebagai Operator Kawasan TOD. Kasus MRT menunjukkan adanya kesepakatan pemenuhan fitur fasilitas publik yang memenuhi prinsip konsep TOD, berbeda dengan kasus LRT dan Kereta Komuter. Berdasarkan temuan di atas penelitian ini mengungkapkan bahwa pada tingkat operasional pendekatan informal lebih efektif dalam mencapai kesepakatan antaragensi transit dan aktor privat khususnya pengembang, ketimbang pendekatan formal yang justru menyebabkan sulitnya tercapai kesepakatan. Hal ini disebabkan karena tidak memadainya aturan formal di tingkat pilihan kolektif yang dibutuhkan untuk mengatur tindakan agen di tingkat operasional. Konsensus yang dicapai melalui pendekatan informal atau pendekatan yang dilakukan di luar aturan yang berlaku, bekerja pada tingkat operasional, yakni tingkat tindakan yang mengarah langsung pada perwujudan material fisik atau penggunaan sumber daya. Hasil dari konsensus tersebut adalah masterplan kawasan TOD yang secara indikatif menunjukkan potensi pemenuhan prinsip 5D suatu kawasan TOD (density, design, destination access, distance to transit, diversity). Di sisi lain penyediaan aturan TOD di tingkat pilihan kolektif masih sulit dilakukan karena lemahnya koordinasi dan sinkronisasi aturan antarsektor pemerintahan serta prosedur penyusunan aturan yang memakan waktu panjang, terutama menyangkut integrasi aturan tata ruang dan aturan transportasi yang dibutuhkan untuk pengembangan TOD. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa informalitas melalui perencanaan konsensus bekerja pada tingkat operasional dapat mendorong keberhasilan pengembangan TOD. Produk perencanan yang berpotensi untuk mendorong terwujudnya pengembangan TOD dihasilkan melalui peran koordinasi agensi transit. Dalam arena informal peran agensi transit menjadi sangat penting dan membesar karena adanya peran pemerintah yang diambil alih oleh agensi transit khususnya dalam mempertemukan kepentingan publik dan swasta berkaitan dengan rencana dan pembiayaan yang dapat mendekati pemenuhan prinsip ideal kawasan TOD. Produk konsensus yang secara informal dihasilkan oleh agensi transit dapat menjadi usulan dan percepatan keputusan perubahan aturan guna lahan dan bangunan khususnya bagi pemerintah yang berada yang pada tingkat pilihan kolektif. Namun demikian keberhasilan pemenuhan prinsip TOD secara jangka panjang masih akan tetap tergantung pada arena formal pada tingkat pilihan kolektif yang mempertemukan kepentingan para agen operasional dengan pihak pemerintah yang mewakili kepentingan publik. Hal ini diperlukan agar terjadi perubahan aturan untuk mengatur tindakan operasional selanjutnya guna mengurangi risiko terjadinya pembangunan yang merugikan publik. Intervensi kebijakan olehv pemerintah tetap diperlukan untuk tujuan jangka panjang perwujudan nilai-nilai TOD. Secara teoretik hasil penelitian ini akan melengkapi teori tentang perencanaan konsensus yang belum secara mendalam membahas bagaimana informalitas bekerja dan posisi arena informal dalam mempengaruhi perencanaan konsensus. Kebaruan yang dihasilkan dari kasus pengembangan TOD terhadap teori konsensus adalah adanya pemisahan antara arena informal di tingkat operasional dengan arena formal. Hal ini membedakan pandangan dari teori sebelumnya oleh Woltjer yang menyarankan agar aktor formal dan informal diidentifikasi dan dilebur ke dalam dalam satu arena pencapaian kesepakatan. Secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi multi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengembangan TOD untuk dapat memahami permasalahan dan untuk penyempurnaan kebijakan atau regulasi terkait. Penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi praktis yakni agar pemerintah melakukan perbaikan regulasi dan penataan institusi TOD untuk mewujudkan kawasan TOD yang dapat secara efektif mencapai nilai-nilai positif dari konsep TOD dengan memanfaatkan usulan produk perencanaan yang dihasilkan dari arena informal. Di sisi lain pendekatan informal di level operasional melalui pemberian otoritas kepada agensi transit sebagai Operator Kawasan TOD yang memiliki kepentingan terhadap terwujudnya kawasan TOD yang ideal dapat menjadi referensi bagi pengembangan kelembagaan TOD selanjutnya.