Limbah infeksius rumah sakit telah menjadi isu penting karena berpotensi dan
berisiko memaparkan penyakit baik terhadap pasien, pekerja rumah sakit, dan
masyarakat yang tinggal di sekitar rumah sakit. Penilaian risiko dalam sistem
pengelolaan limbah infeksius dibagi menjadi dua metode yaitu (1) analisis risiko
secara kualitatif yang mengidentifikasi risiko secara deskriptif, (2) analisis risiko
secara kuantitatif yang mengidentifikasikan risiko dengan menggunakan
perhitungan untuk mendapatkan prioritisasi risikonya mulai dari proses pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan hingga proses disposal. Saat ini, di
Indonesia peraturan yang mengatur tata cara penanganan limbah B3 dari kegiatan
fasilitas pelayanan kesehatan telah tertuang pada Permen LHK. p.56/2015, namun
studi yang komprehensif untuk mengevaluasi implementasinya dan hubungannya
dengan penilaian risiko belum terkaji secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kesesuaian pengelolaan limbah infeksius
rumah sakit terhadap peraturan yang berlaku serta mengembangkan penilaian risiko
dengan pendekatan metode FMEA dalam sistem pengelolaan limbah infeksius
rumah sakit.
Penelitian dilaksanakan di 7 rumah sakit daerah Bandung. Penelitian ini terdiri dari
4 tahapan, yaitu tahap ke-1 adalah mengestimasi timbulan, proporsi limbah
infeksius dan mengidentifikasi faktor yang mempengaruhinya serta mengobservasi
kondisi eksisting pengelolaan limbah infeksius rumah sakit. Tahap ke-2 adalah
mengidentifikasi dan mengevaluasi pengelolaan limbah infeksius rumah sakit
terhadap peraturan yang berlaku serta membandingkan dan mengevaluasi
pengelolaan limbah infeksius antara negara berkembang dengan negara maju.
Tahap ke-3 adalah mengidentifikasi kegagalan proses pengelolaan limbah infeksius
yang berpotensi menimbulkan risiko dan menilai risiko dengan pendekatkan
metode FMEA. Tahap ke-4 dilanjutkan dengan pengembangan usulan (framework)
penilaian risiko pengelolaan limbah infeksius yang terintegrasi mencakup aspek
kebijakan atau peraturan serta aspek teknis operasional, sehingga dapat dilakukan
prioritisasi risiko dan tindakan rekomendasinya.
Penelitian tahap ke-1 melalui direct sampling didapatkan estimasi timbulan limbah
infeksius dari 7 rumah sakit adalah 317,1 kg/hari dengan proporsi limbah infeksius
30,4%. Timbulan limbah infeksius di fasilitas rawat inap adalah 45±39,5kg/hari;
0,4±0,2kg/TT/hari dan 0,7±0,5kg/occ.TT/hari. Timbulan dan proporsi limbah
infeksius dipengaruhi secara signifikan oleh tipe rumah sakit. Rumah sakit tipe C
memberikan timbulan limbah infeksius yang tertinggi secara signifikan
dibandingkan dengan rumah sakit tipe A , B dan D. Teridentifikasi bahwa timbulan
limbah infeksius pada rawat inap tidak linier terhadap tipe rumah sakit, namun lebih
dipengaruhi oleh tindakan medis yang dilakukan pada pasien. Tingginya timbulan
dan proporsi limbah infeksius di wilayah studi diakibatkan pewadahan limbah noninfeksius
yang disatukan dengan limbah infeksius di ruang rawat inap.
Penelitian tahap ke-2 berfokus pada persentase kesesuaian pengelolaan limbah
infeksius rumah sakit berdasarkan EPA/1992 dan Permen LHK.p56/2015.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar ceklist. Rata-rata %
kesesuaian pengelolaan limbah infeksius dari 7 rumah sakit adalah berturut -turut
57% dan 59%. Sedangkan di Radboud UMC memberikan % kesesuaian
pengelolaan limbah infeksius rumah sakit sebesar 97% berdasarkan EPA/1992 dan
90% berdasarkan Permen LHK p.56/2015. Perbedaan persentase dikarenakan
terdapat perbedaan regulasi di bagian pemilahan dan SOP penguburan limbah
infeksius. Radboud UMC memilah dan mengumpulkan limbah infeksius pada
kontainer padat serta tidak mengubur limbah infeksusnya. Kesesuaian pengelolaan
limbah infeksius di daerah Bandung dipengaruhi oleh tipe rumah sakit, status
akreditasi dan status petugas kebersihan dengan p value < 0,05. Sedangkan terhadap
proporsi dan timbulan limbah infeksius % kesesuaian pengelolaan limbah infeksius
memberikan hubungan yang kuat dengan koefisien korelasi berturut-turut (r)
0,8801 dan 0,7073 pada satuan limbah infeksius kg/TT/hari. Rendahnya tingkat %
kesesuaian pengelolaan limbah infeksius di daerah Bandung menunjukkan adanya
potensi risiko yang lebih tinggi terhadap kesehatan petugas, pasien dan pengunjung
rumah sakit oleh penyakit infeksius jika dibandingkan dengan Radboud UMC
Belanda. Pada daerah studi proses pemilahan, rencana darurat dan pembuangan
limbah infeksius memberikan % kesesuaian < 50% dengan nilai berturut-turut
28,4%; 33,3% dan 42,9%.
Penelitian tahap ke-3 melakukan identifikasi bentuk-bentuk kegagalan (failure
modes) dalam pengelolaan limbah infeksius. Data diperoleh melalui kuesioner yang
diisi oleh 125 responden yang bekerja di rumah sakit dengan profesi dokter, staf
kantor, apoteker, bidan, petugas kesling, petugas kebersihan dan analis, dimana
53% responden bekerja di wilayah studi dan 47% responden bekerja di luar wilayah
studi. Hasil studi menunjukkan terdapat potensi risiko dalam pengelolaan limbah
infeksius baik pada proses pemilahan, pengumpulan, penyimpanan, SDM maupun
SOP. Identifikasi failure modes dari kuesioner dan observasi lapangan di 7 rumah
sakit kemudian diakumulasikan dan didapatkan 55 failure modes untuk instrumen
FMEA dengan 9 sistem fungsional. Penilaian risiko pada FMEA terdiri dari nilai
severity, occurrence dan detection. Hasil perkalian nilai severity, occurrence dan
detection disebut dengan risk priority number (RPN). Pada studi ini juga
dikembangkan kategori penilaian risiko dengan skala 1 hingga 5.
Penelitian tahap ke-4 dilakukan pengembangan penilaian risiko dengan instrumen
FMEA. Framework dan instrumen penilaian risiko yang dilakukan pada penelitian
ini terdiri dari : (1) penggunaan peraturan Permen LHK No. p.56/2015 sebagai
standar evaluasi pengelolaan limbah infeksius rumah sakit dan penentuan 9
(sembilan) sistem fungsional proses pengelolaan limbah infeksius; (2) penambahan
variabel profil rumah sakit dalam sampel sebagai dasar inventarisasi failure modes;
(3) penentuan kategori nilai severity, occurrence dan detection dengan skala 1-5;
(4) dilakukan uji coba instrumen FMEA; (5) uji validasi instrumen FMEA. Nilai
total RPN dengan variabel rumah sakit bervariasi yaitu antara 700 – 2348, dimana
rumah sakit yang belum terakreditasi memberikan nilai RPN tertinggi dalam
pengelolaan limbah infeksiusnya. Sedangkan total RPN variabel sistem fungsional
bervariasi antara 344-1425, dimana proses pembuangan (disposal) limbah infeksius
memberikan nilai risiko tertinggi dengan total RPN 1425 dan diikuti dengan proses
penyimpanan (storage) limbah infeksius dengan total RPN 1420. RPN dipengaruhi
secara signifikan oleh jenis rumah sakit, tipe rumah sakit, status akreditasi rumah
sakit, status kepemilikan, dan status petugas kebersihan dengan p value < 0,05.
Hasil uji validasi instrumen FMEA menunjukkan hubungan yang signifikan antara
% kesesuaian pengelolaan limbah infeksius dengan nilai RPN dengan koefisien
korelasi (r) 0,9368.