ABSTRAK Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan COVER Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 1 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 2 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 3 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 4 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 5 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 6 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 7 Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan PUSTAKA Meiti Pratiwi
PUBLIC Irwan Sofiyan
Di Indonesia, produksi bahan bakar minyak bumi (BBM) tidak dapat mengimbangi
kenaikan konsumsi BBM sehingga celah kebutuhan ini diisi dengan mengimpor
BBM. Untuk dapat meredam impor BBM, diperlukan produksi bahan bakar
biohidrokarbon setara bensin dan solar. Salah satu teknologi proses produksi
biohidrokarbon yang sedang dikembangkan di Institut Teknologi Bandung adalah
dekarboksilasi dan/atau pirolisis sabun basa logam bervalensi dua, M(OH)(OOCR),
dengan M bisa berarti logam tunggal seperti Mg dan Ca, atau logam campuran Zn,
Mg dan Ca. Teknologi proses produksi biohidrokarbon ini sangat menarik untuk
dikaji lebih lanjut karena tidak mengkonsumsi gas hidrogen dan beroperasi pada
tekanan atmosferik.
Metode pembuatan sabun logam yang umum dilakukan adalah teknik dekomposisi
ganda dan fusi. Proses dekomposisi ganda menghasilkan produk samping berupa
garam alkali, sehingga menimbulkan masalah dalam hal pelepasan limbah,
sedangkan teknik fusi menggunakan asam lemak sebagai bahan bakunya. Penelitian
ini menelaah metode penyabunan via reaksi langsung hidroksida logam dengan
minyak-lemak nabati untuk menghasilkan sabun basa logam. Proses ini merupakan
suatu alternatif proses yang sangat menarik karena menggunakan bahan baku yang
murah (minyak nabati) dan tidak menghasilkan garam alkali.
Tiga metode yang sangat menarik dan dipatenkan diselidiki keefektifannya
menghasilkan sabun basa logam dari stearin sawit. Masing-masing dari ketiga
metode tersebut, menambahkan zat lain yang diharapkan dapat memperlancar
reaksi penyabunan. Zat lain yang ditambahkan itu adalah air pada metode Blachford
(1982), gliserol pada metode Rogers dan Opem (1962), dan pelarut aprotik
berkonstanta dielektrik > 15 pada metode Akers dkk. (1984). Pada penelitian ini,
dilakukan penyabunan dengan menggunakan katalis Ca-digliseroksida. Tolok ukur
keefektifan adalah kemampuan menghasilkan sabun basa logam yang hanya
mengandung seminimal mungkin asam lemak bebas dan, jika dibandingkan
terhadap hidroksida asalnya, berderajat hidroksida tersabunkan mendekati 50 %.
Di antara ketiga metode di atas, metode Rogers dan Opem (1962) adalah yang
terbaik. Metode ini dapat dilaksanakan pada tekanan atmosferik dan temperatur minimal 122 oC, dan menghasilkan sabun basa logam dengan persentase hidroksida
tersabunkan dan angka asam yang dapat diterima. Penelitian ini berhasil
membuktikan bahwa:
a. katalis sebenarnya dari proses penyabunan bukan gliserol, melainkan ion
gliserolat yang bisa terbentuk dari kalsium hidroksida dan gliserol atau dari
kalsium digliseroksida, jika zat yang disebut terakhir ini dibubuhkan
menggantikan gliserol sebagai katalis;
b. mekanisme reaksi penyabunannya mengikuti siklus pembentukan ion gliserolat
– ion enolat usulan Dijkstra (2005, 2008), yang telah sukses menerangkan
mekanisme katalisis pada reaksi-reaksi interesterifikasi dan metanolisis minyaklemak,
tetapi tahap akhir pembentukan sabunnya bergantung pada kekuatan basa
dari hidroksida logam untuk merebut gugus asam lemak dari ion enolat.
Metode Blachford (1982) juga dapat menghasilkan sabun basa logam dengan
kualitas yang dapat diterima, tetapi membutuhkan temperatur operasi lebih tinggi
(minimal 185 oC) dan, karena zat yang ditambahkan adalah air sebanyak 50 % dari
berat stearin (minyak lemak), tekanan tinggi (10 bar atau lebih).
Dari ketiga metode, cara yang diklaim Akers dkk. (1984) adalah yang paling tak
disarankan untuk diikuti/dianut. Pertama karena klaim mereka bahwa reaksi
penyabunan akan berlangsung pada temperatur relatif rendah (< 100 oC) jika reaksi
dilaksanakan pada titik refluks/didih suatu pelarut aprotik berkonstanta dielektrik >
15, tidak berhasil dibuktikan oleh penelitian ini, sekalipun ke dalam campuran
reaksi berpelarutnya itu dibubuhkan kalsium gliseroksida sesuai mekanisme
Dijkstra. Kedua, reaksi penyabunan hanya bisa menghasilkan sabun basa logam
berkualitas memadai dengan menggunakan pelarut dimetil sulfoksida (DMSO),
suatu pelarut aprotik yang selain berkonstanta dielektrik > 15 juga bersifat
memperkuat suasana basa campuran reaksi, jika reaksi dilaksanakan pada
temperatur sekitar 130 oC dengan nisbah volume DMSO : stearin sekitar 3 : 1; ini
jelas lebih buruk dari metode Rogers dan Opem (1962) yang tidak membutuhkan
pelarut (dalam jumlah relatif besar) serta sudah bisa memulai reaksi pada 122 oC.
Jika sabun basa logam dibuat dari campuran hidroksida ?Ca(OH)2.(1-
?)Mg(OH)2.Zn(OH)2 dengan 0 < ? < 1, analisis X-ray Diffraction menunjukkan
bahwa sabun basa yang terbentuk adalah ?Ca(OH)2.(1-?)Mg(OH)2.Zn(OOCR)2,
sekalipun Mg dan, terutama, Ca memiliki kebasaan lebih tinggi dari Zn. Uji
dekarboksilasi pada 370°C menunjukkan bahwa produk cair dekarboksilasi
terutama adalah hidrokarbon fraksi diesel (C12 – C17) dengan C15 sebagai komponen
terbanyak. Asam-asam lemak bebas di dalam sabun akan menyebabkan produk cair
mengandung senyawa keton. Nilai ? yang optimum adalah ? = 0,50 dan kelompok
hidrokarbon penyusun utama produk cair dekarboksilasi terdiri atas n-parafin, iparafin
dan 1-olefin yang berkualitas bahan bakar diesel cukup baik ditinjau dari
parameter-parameter angka setana, titik tuang, dan kestabilan oksidasi (reaktifitas
terhadap oksigen udara). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa penyabunan
via reaksi langsung antara stearin sawit dengan hidroksida logam mampu
diselenggarakan pada tekanan atmosferik dengan menggunakan ion gliserolat
sebagai katalis.