








Pemukim di lahan basah berhadapan dengan ekosistem yang fluktuatif dan paparan
luapan banjir. Riparian adalah lahan basah tepian sungai yang merupakan area
transisi antara darat dan perairan yang memiliki fungsi penting bagi layanan
ekosistem kota. Riparian di perkotaan merupakan area penjernih, penyerapan dan
penampungan air, serta penjaga habitat akuatik. Tetapi, konservasi total sulit
dilaksanakan ketika hampir semua lahan kota adalah lahan basah. Kota berkembang
pesat dan membutuhkan lahan pembangunan baru, terutama untuk permukiman.
Banyak kota di Indonesia menghadapi masalah tersebut. Perkotaan di Indonesia
banyak dibangun di tepian air Karena menyediakan kebutuhan lahan yang subur,
sumber pangan, sumber air rumah tangga, jalur transportasi, pengudaraan dan
pencahayaan alami dan kebutuhan sanitasi lainnya. Urbanisme air telah menjadi
sejarah dari kota-kota di Indonesia dan masih berlangsung hingga saat ini.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kota membutuhkan perencanaan permukiman
di riparian dengan pendekatan ekosistem. Pendekatan yang melestarikan layanan
ekosistem riparian dengan memperkuat hubungan antara manusia dan lingkungan.
Budaya menjadi bagian dari pelestarian ekosistem.
Penelitian berlokasi di riparian Sungai Musi, Palembang. Kedua permukiman
berada pada dua sisi tepian sungai yang saling berseberangan. Penelitian meneliti
dua sudut pandang, yaitu pendekatan ekosistem dan preferensi pemukim. Sudut
pendekatan ekosistem dianalisis dari penilaian ahli permukiman lahan basah,
sedangkan sisi preferensi permukiman diukur melalui preferensi pemukim. Metode
Multi Atributte Utility (MAU) digunakan untuk menganalisis pendapat para ahli,
sedangkan metode Analisis Konjoin digunakan untuk menganalisis preferensi
pemukim.
Hasil penelitian menemukan empat fokus penekanan konservasi dari empat tujuan
pembangunan dengan pendekatan ekosistem. Perencanaan dengan tujuan
pelestarian karakter riparian menekankan pada konservasi hubungan timbal balik
antara pemukim dan lingkungan riparian. Sedangkan, perencanaan dengan tujuan
menjaga fungsi riparian sebagai area pengendali banjir, daur ulang air, dan habitat
akuatik fokus pada konservasi lingkungan secara fisikal, biologis, dan kimiawi.
Hasil analisis preferensi menunjukkan bahwa pemukim lebih menyukai perencanaan yang mengintegrasikan pemukiman di ekosistem riparian daripada
memisahkan pembangunan dari riparian sebagai kawasan konservasi. Hasil analisis
juga menunjukkan bahwa pemilik rumah yang telah lama tinggal dan merasa
nyaman tinggal di permukiman ini memiliki kepedulian terhadap kualitas
lingkungan permukiman. Terlebih lagi pada warga dengan kegiatan sehari-hari dan
pekerjaan yang bergantung pada sungai, pemukim ini akan lebih memperhatikan
lingkungannya.
Hasil analisis keseimbangan pendekatan ekosistem dan preferensi pemukim
menunjukkan bahwa kriteria ekologis lebih memperhatikan komponen lingkungan,
sementara pemukim lebih memperhatikan komponen bangunan. Oleh karena itu,
optimalisasi perencanaan permukiman di riparian dapat dicapai dengan
mengoptimalkan komponen lingkungan sesuai kriteria pendekatan ekosistem dan
komponen bangunan sesuai dengan kriteria preferensi pemukim. Pengoptimalan
pendekatan ekosistem memerlukan pemahaman dampak konstruksi terhadap
kinerja layanan ekosistem riparian, terutama pada gangguan aliran air, sedimentasi,
pemblokiran penerangan alami, dan penurunan kapasitas penyerapan. Sementara
itu, optimalisasi sisi preferensi memerlukan pemahaman tentang aktivitas
masyarakat sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, dan orientasi budaya hidup.
Bahkan lebih dari itu, perencanaan di riparian memerlukan pemahaman tentang
interaksi pemukim dan lingkungan mereka sebagai bagian ekosistem yang saling
bergantung.