digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Wilman Hermana 27015014.pdf
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

Salah satu persoalan yang cukup banyak dibahas melalui karya seni kontemporer adalah persoalan identitas. Meski problematika ini memang sudah mulai dirasakan ketika era modern, problematika identitas berkembang kian menjadi rumit pada era mutakhir. Jika sebelumnya individu dihadapkan pada tegangan identitas antara tradisi dan bangsa, saat ini kutub-kutub yang turut bermain di arena tersebut kian menjadi majemuk. Salah satu hal yang mendorong silang-sengkarut polemik identitas ini adalah aktivitas media massa. Dalam era global saat ini, aktivitas media tidak lagi netral dan bebas-nilai sebagaimana dulu direncanakan. Lambat laun, media secara perlahan mulai diselipi agenda-agenda kuasa. Negara tentu menjadi kuasa-kuasa awal yang memberdayakannya sebagai instrumen propaganda. Ditunjang dengan ideologi neo-liberal pada globalisasi saat ini, kapitalisme pun kemudian mulai melakukan hal yang sama. Melalui media, hasrat konsumsi masyarakat dipelihara dan ditumbuhkan sejak dini. Tak jarang hal ini menimbulkan polemik, salah satu diantaranya adalah persoalan identitas. Persoalan identitas yang penulis angkat pada karya Tugas Akhir ini adalah tentang konsep maskulinitas. Penulis menyadari bahwa saat ini konsep maskulinitas telah terdekonstruksi sedemikian rupa untuk tidak lagi secara ‘konvensional’ dicirikan dengan proporsi tubuh yang muskular melainkan direpresentasikan melalui karakter-karakter lain, seperti postur tumbuh tinggi semampai dan pilihan busana. Dekonstruksi konsep ini penulis sadari juga merupakan imbas dari aktivitas media. Alih-alih dimaknai melalui oposisi biner, maskulinitas mutakhir bekerja sebagai sebuah continuum, sebuah sekuens dimana elemen-elemen yang berdampingan tidak memperlihatkan perbedaan signifikan namun terasa kontras berbeda di tepian ekstrimnya. Melalui karya ini penulis mencoba untuk menampilkan representasi mutakhir dari identitas maskulin. Strategi visual yang kemudian dipilih adalah dengan menggunakan figurin. Ikonikon maskulinitas mutakhir kemudian dipadu-padankan dalam karya ini, menjadi semacam ‘kosakata’ maskulinitas yang beredar dalam keseharian saat ini. Idiom figurin dipilih selain karena potensinya dalam menghadirkan diri juga dilatari dari kedekatannya dengan budaya populer.