Salah satu persoalan yang cukup banyak dibahas melalui karya seni kontemporer adalah
persoalan identitas. Meski problematika ini memang sudah mulai dirasakan ketika era modern,
problematika identitas berkembang kian menjadi rumit pada era mutakhir. Jika sebelumnya
individu dihadapkan pada tegangan identitas antara tradisi dan bangsa, saat ini kutub-kutub
yang turut bermain di arena tersebut kian menjadi majemuk. Salah satu hal yang mendorong
silang-sengkarut polemik identitas ini adalah aktivitas media massa.
Dalam era global saat ini, aktivitas media tidak lagi netral dan bebas-nilai sebagaimana dulu
direncanakan. Lambat laun, media secara perlahan mulai diselipi agenda-agenda kuasa. Negara
tentu menjadi kuasa-kuasa awal yang memberdayakannya sebagai instrumen propaganda.
Ditunjang dengan ideologi neo-liberal pada globalisasi saat ini, kapitalisme pun kemudian
mulai melakukan hal yang sama. Melalui media, hasrat konsumsi masyarakat dipelihara dan
ditumbuhkan sejak dini. Tak jarang hal ini menimbulkan polemik, salah satu diantaranya
adalah persoalan identitas.
Persoalan identitas yang penulis angkat pada karya Tugas Akhir ini adalah tentang konsep
maskulinitas. Penulis menyadari bahwa saat ini konsep maskulinitas telah terdekonstruksi
sedemikian rupa untuk tidak lagi secara ‘konvensional’ dicirikan dengan proporsi tubuh yang
muskular melainkan direpresentasikan melalui karakter-karakter lain, seperti postur tumbuh
tinggi semampai dan pilihan busana. Dekonstruksi konsep ini penulis sadari juga merupakan
imbas dari aktivitas media. Alih-alih dimaknai melalui oposisi biner, maskulinitas mutakhir
bekerja sebagai sebuah continuum, sebuah sekuens dimana elemen-elemen yang berdampingan
tidak memperlihatkan perbedaan signifikan namun terasa kontras berbeda di tepian ekstrimnya.
Melalui karya ini penulis mencoba untuk menampilkan representasi mutakhir dari identitas
maskulin. Strategi visual yang kemudian dipilih adalah dengan menggunakan figurin. Ikonikon
maskulinitas mutakhir kemudian dipadu-padankan dalam karya ini, menjadi semacam
‘kosakata’ maskulinitas yang beredar dalam keseharian saat ini. Idiom figurin dipilih selain
karena potensinya dalam menghadirkan diri juga dilatari dari kedekatannya dengan budaya
populer.