Bertambahnya jumlah penduduk secara otomatis akan meningkatkan aktifitas antropogenik yang juga meningkatkan pencemaran udara. Dalam strategi
pengendalian kualitas udara skala kota, sangat penting untuk mendapatkan metode inventori emisi spasial yang efisien, yaitu tidak membutuhkan sumber daya besar namun tetap akurat. Dalam penelitian ini, dibandingkan hasil estimasi emisi dengan dua metode, yaitu metode bottom up dan top down. Dalam metode bottom up, dipertimbangkan perbedaan kelas lahan yang berpengaruh terhadap komponen aktivitas, sedangkan dalam metode top down, beban emisi dianggap merata untuk setiap kecamatan. Emisi yang dihitung adalah emisi dari sumber area domestik di Kota Bandung, yaitu dari pembakaran sampah terbuka skala rumah tangga dan dari penggunaan bahan bakar domestik. Nilai emisi dihitung berdasarkan klasifikasi sosial ekonomi penduduk, yaitu kelas sederhana, menengah, dan mewah dengan fokus pada perhitungan data aktivitas. Output yang dibandingkan dari kedua metode adalah distribusi beban emisi per Grid 30” Kota Bandung serta hasil perhitungan beban emisi total Kota Bandung. Parameter emisi yang dihitung dalam penelitian ini adalah NOx, PM10, HC, CO, serta Gas Rumah Kaca yaitu CO2 dan CH4. Perbandingan hasil estimasi emisi total antara dua metode untuk satu Kota Bandung menunjukkan galat yang bervariasi untuk setiap parameter, yaitu antara 1,5% - 6,89%. Hasil pemetaan emisi dalam grid 30” menunjukkan adanya pola keragaman distribusi spasial antara metode bottom up dan metode top down. Dalam metode bottom up, rentang beban emisi lebih besar sesuai dengan persebaran penduduk. Sedangkan dalam metode top down, rentang beban emisi per grid lebih kecil yang mengindikasikan adanya informasi detil yang tidak terlihat namun mampu ditampilkan oleh hasil dari metode bottom up.
Perpustakaan Digital ITB