digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sering terjadinya bencana alam di Indonesia dan pada setiap kejadiannya selalu anak-anak yang mendapatkan dampak terbesar. Kejadian bencana alam selalu merenggut sesuatu dalam diri anak, orang tua, temanteman, dan terutama masa kecil. Untuk mencegah terjadinya PTSD atau Post Traumatic Syndrome Disorder dan memberikan anak-anak kesempatan untuk masa depan yang lebih baik dengan rasa percaya diri dan optimisme, intervensi psikologis harus dilakukan. Terapi seni merupakan intervensi kreatif yang telah digunakan untuk kasus-kasus trauma sejak tahun 1970-an terutama di Barat. Namun, hingga saat ini praktiknya di Indonesia sangat jarang. Inti dari proses terapi seni yang dilakukan di Barat adalah anak-anak diajak untuk bercerita kembali, menggali perasaan-perasaan negatif yang tersisa akibat kejadian traumatis dan saling bekerja sama untuk bersamasama belajar mengekspresikannya lewat karya seni rupa. Tujuan dari penelitian ini adalah mencobakan tahapan awal terapi seni dari mulai perancangan hingga analisis karya. Metode yang digunakan adalah penelitian eksperimental dengan pembahasan deskriptif dan tidak terfokus pada efektivitas eksperimen. Sampel diambil dari Panti Asuhan Islam Media Kasih Banda Aceh, dengan rincian 4 sampel utama dan 6 sampel pendukung. Sampel utama dipilih karena terkena dampak langsung tsunami, tinggal di tempat yang terkena tsunami dan kehilangan anggota keluarganya dalam bencana tersebut. Penelitian dilakukan selama empat minggu di tempat tinggal mereka tanpa mengontrol faktor-faktor keseharian mereka. Saat survei dilakukan need assessment dalam bentuk wawancara individual untuk mengetahui kondisi psikologis mereka berkaitan dengan keadian tsunami. Setelah itu ditetapkan 8 sesi kelompok, satu visual journal dan sesi individu (hanya diikuti oleh sampel utama). Hasil karya selama 12 sesi tersebut kemudian dianalisis untuk mengungkapkan ekspresi yang terkait dengan trauma mereka karena bencana tsunami. Dari penelitian ini ditemukan bahwa beberapa kegiatan terapi seni yang berasal dari Barat, terutama kegiatan terapi berkelompok, kurang cocok untuk diterapkan di sini. Untuk dapat membuat rancangan yang tepat dibutuhkan waktu lebih lama, diestimasikan kurang lebih 6 bulan, dan dukungan dari bidang psikologi yang juga diperlukan untuk membantu melihat efektivitas tiap kegiatannya. Sementara tidak semua anak berhasil mengekspresikan perasaannya dalam karya. Sampai saat terakhir masih ada anak yang tidak bisa mengekspresikan dirinya dalam karya seni kebanyakan karena minatnya terhadap seni rupa kurang dan terbiasa dengan tema umum di sekolah, contohnya pemandangan. Beberapa lagi menunjukkan ekspresi sedih dan kesepian dalam karya-karyanya yang memperlihatkan dampak kejadian kehilangan keluarga mereka karena tsunami. Secara umum penelitian ini sudah berhasil menguji sebuah metode perancangan terapi seni dan mengungkap ekspresi pada gambar anak-anak korban tsunami