








Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sering terjadinya bencana alam di Indonesia dan
pada setiap kejadiannya selalu anak-anak yang mendapatkan dampak terbesar.
Kejadian bencana alam selalu merenggut sesuatu dalam diri anak, orang tua, temanteman,
dan terutama masa kecil. Untuk mencegah terjadinya PTSD atau Post
Traumatic Syndrome Disorder dan memberikan anak-anak kesempatan untuk masa
depan yang lebih baik dengan rasa percaya diri dan optimisme, intervensi psikologis
harus dilakukan. Terapi seni merupakan intervensi kreatif yang telah digunakan untuk
kasus-kasus trauma sejak tahun 1970-an terutama di Barat. Namun, hingga saat ini
praktiknya di Indonesia sangat jarang. Inti dari proses terapi seni yang dilakukan di
Barat adalah anak-anak diajak untuk bercerita kembali, menggali perasaan-perasaan
negatif yang tersisa akibat kejadian traumatis dan saling bekerja sama untuk bersamasama
belajar mengekspresikannya lewat karya seni rupa. Tujuan dari penelitian ini
adalah mencobakan tahapan awal terapi seni dari mulai perancangan hingga analisis
karya.
Metode yang digunakan adalah penelitian eksperimental dengan pembahasan
deskriptif dan tidak terfokus pada efektivitas eksperimen. Sampel diambil dari Panti
Asuhan Islam Media Kasih Banda Aceh, dengan rincian 4 sampel utama dan 6 sampel
pendukung. Sampel utama dipilih karena terkena dampak langsung tsunami, tinggal
di tempat yang terkena tsunami dan kehilangan anggota keluarganya dalam bencana
tersebut. Penelitian dilakukan selama empat minggu di tempat tinggal mereka tanpa
mengontrol faktor-faktor keseharian mereka. Saat survei dilakukan need assessment
dalam bentuk wawancara individual untuk mengetahui kondisi psikologis mereka
berkaitan dengan keadian tsunami. Setelah itu ditetapkan 8 sesi kelompok, satu visual
journal dan sesi individu (hanya diikuti oleh sampel utama). Hasil karya selama 12
sesi tersebut kemudian dianalisis untuk mengungkapkan ekspresi yang terkait dengan
trauma mereka karena bencana tsunami.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa beberapa kegiatan terapi seni yang berasal dari
Barat, terutama kegiatan terapi berkelompok, kurang cocok untuk diterapkan di sini.
Untuk dapat membuat rancangan yang tepat dibutuhkan waktu lebih lama,
diestimasikan kurang lebih 6 bulan, dan dukungan dari bidang psikologi yang juga
diperlukan untuk membantu melihat efektivitas tiap kegiatannya. Sementara tidak
semua anak berhasil mengekspresikan perasaannya dalam karya. Sampai saat terakhir
masih ada anak yang tidak bisa mengekspresikan dirinya dalam karya seni
kebanyakan karena minatnya terhadap seni rupa kurang dan terbiasa dengan tema
umum di sekolah, contohnya pemandangan. Beberapa lagi menunjukkan ekspresi
sedih dan kesepian dalam karya-karyanya yang memperlihatkan dampak kejadian
kehilangan keluarga mereka karena tsunami. Secara umum penelitian ini sudah
berhasil menguji sebuah metode perancangan terapi seni dan mengungkap ekspresi
pada gambar anak-anak korban tsunami