Kesehatan mental merupakan aspek fundamental dari kesejahteraan individu,
namun prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan dewasa muda di
Indonesia menunjukkan kesenjangan penanganan (treatment gap) yang
mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, ruang konseling memegang peranan krusial
sebagai lingkungan fisik yang dapat mendukung atau justru menghambat proses
pemulihan. Berlandaskan pada kerangka teori Healing Environment dan Gender
Sensitive Design, penelitian ini mengkaji bagaimana elemen fisik seperti pencahayaan,
warna, dan tata letak dapat memengaruhi kenyamanan psikologis dan efektivitas
terapi. Meskipun demikian, desain ruang konseling di Indonesia belum memiliki
standar yang secara spesifik mempertimbangkan kebutuhan psikologis perempuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi elemen-elemen desain kunci yang
mendukung terciptanya lingkungan terapeutik yang optimal dan menganalisis persepsi
perempuan dewasa muda mengenai pengaruh elemen fisik ruang konseling tersebut,
dengan studi kasus di Klinik Yayasan Pulih.
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran terbenam (embedded mixed
method) dalam kerangka studi kasus untuk memperoleh pemahaman yang holistik.
Desain penelitian dilaksanakan dalam dua tahap utama: (1) tahap pendahuluan melalui
kuesioner eksploratif daring (N=50) untuk mengidentifikasi dan memvalidasi tiga
elemen fisik paling signifikan, yaitu pencahayaan, warna, dan tata letak; dan (2) tahap
studi kasus mendalam pada pengguna layanan Yayasan Pulih (N=52) yang
menggunakan strategi triangulasi data. Pengumpulan data dilakukan melalui: (a)
observasi terstruktur untuk mengukur kondisi fisik ruang secara objektif; (b)
wawancara semi-terstruktur dengan dua psikolog profesional untuk menangkap
perspektif praktisi; serta (c) survei utama yang mengadaptasi skala Environmental
Satisfaction Questionnaire (ESQ) dan Perceived Restorativeness Scale (PRS).
Analisis data dilakukan secara terintegrasi menggunakan analisis tematik untuk data
kualitatif dan statistik deskriptif serta korelasional untuk data kuantitatif.
Hasil penelitian mengungkap adanya dikotomi persepsi yang tajam antara keamanan
fungsional dengan kenyamanan sensorik. Di satu sisi, elemen tata letak
ruang dipersepsikan secara positif (skor Mean 3,56–3,92), di mana konfigurasi L
shaped dan visibilitas ke pintu keluar terbukti berhasil memenuhi kebutuhan
fundamental akan rasa aman dan kontrol spasial, terutama bagi responden dengan
riwayat trauma (Mean = 3,94). Namun di sisi lain, responden menunjukkan
ketidakpuasan signifikan terhadap elemen sensorik, yang terbukti dari skor persepsi
terendah pada pencahayaan (Mean = 2,19–2,56) dan warna (Mean = 2,27–2,48).
Analisis lebih lanjut mengidentifikasi empat temuan krusial: (1) kondisi pencahayaan
yang sangat redup (29–111 lux) menjadi akar utama ketidakpuasan; (2) persepsi
terhadap warna memiliki korelasi statistik sangat kuat dengan pencahayaan (r = .743);
(3) privasi akustik diidentifikasi sebagai kebutuhan absolut yang paling krusial
(Mean = 4,98) namun tidak terpenuhi; dan (4) adanya diskrepansi persepsi antara
pengguna dengan psikolog yang cenderung telah beradaptasi dengan kondisi ruang.
Kebaruan penelitian ini terletak pada penggunaan pendekatan triangulasi data untuk
mengungkap secara empiris adanya dikotomi persepsi antara fungsionalitas dengan
sensorik dalam konteks ruang konseling di Indonesia yang spesifik bagi
perempuan. Secara teoretis, penelitian ini menyumbangkan pemahaman kontekstual
pada penerapan teori Healing Environment dan Gender-Sensitive Design di luar
konteks budaya Barat. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan serangkaian
rekomendasi desain berbasis bukti yang dapat diaplikasikan secara langsung, dengan
prioritas utama pada perbaikan sistem kedap suara untuk menjamin privasi akustik
dan implementasi sistem pencahayaan adaptif (adjustable lighting) untuk
menjembatani kesenjangan persepsi antara pengguna dan praktisi, sehingga lingkungan
fisik dapat berkontribusi secara optimal terhadap pengalaman terapi yang holistik.
Perpustakaan Digital ITB