digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Khoizuron Syakira [27123053]
PUBLIC Open In Flipbook Noor Pujiati.,S.Sos

Kesehatan mental merupakan aspek fundamental dari kesejahteraan individu, namun prevalensi gangguan mental emosional pada perempuan dewasa muda di Indonesia menunjukkan kesenjangan penanganan (treatment gap) yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, ruang konseling memegang peranan krusial sebagai lingkungan fisik yang dapat mendukung atau justru menghambat proses pemulihan. Berlandaskan pada kerangka teori Healing Environment dan Gender Sensitive Design, penelitian ini mengkaji bagaimana elemen fisik seperti pencahayaan, warna, dan tata letak dapat memengaruhi kenyamanan psikologis dan efektivitas terapi. Meskipun demikian, desain ruang konseling di Indonesia belum memiliki standar yang secara spesifik mempertimbangkan kebutuhan psikologis perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi elemen-elemen desain kunci yang mendukung terciptanya lingkungan terapeutik yang optimal dan menganalisis persepsi perempuan dewasa muda mengenai pengaruh elemen fisik ruang konseling tersebut, dengan studi kasus di Klinik Yayasan Pulih. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran terbenam (embedded mixed method) dalam kerangka studi kasus untuk memperoleh pemahaman yang holistik. Desain penelitian dilaksanakan dalam dua tahap utama: (1) tahap pendahuluan melalui kuesioner eksploratif daring (N=50) untuk mengidentifikasi dan memvalidasi tiga elemen fisik paling signifikan, yaitu pencahayaan, warna, dan tata letak; dan (2) tahap studi kasus mendalam pada pengguna layanan Yayasan Pulih (N=52) yang menggunakan strategi triangulasi data. Pengumpulan data dilakukan melalui: (a) observasi terstruktur untuk mengukur kondisi fisik ruang secara objektif; (b) wawancara semi-terstruktur dengan dua psikolog profesional untuk menangkap perspektif praktisi; serta (c) survei utama yang mengadaptasi skala Environmental Satisfaction Questionnaire (ESQ) dan Perceived Restorativeness Scale (PRS). Analisis data dilakukan secara terintegrasi menggunakan analisis tematik untuk data kualitatif dan statistik deskriptif serta korelasional untuk data kuantitatif. Hasil penelitian mengungkap adanya dikotomi persepsi yang tajam antara keamanan fungsional dengan kenyamanan sensorik. Di satu sisi, elemen tata letak ruang dipersepsikan secara positif (skor Mean 3,56–3,92), di mana konfigurasi L shaped dan visibilitas ke pintu keluar terbukti berhasil memenuhi kebutuhan fundamental akan rasa aman dan kontrol spasial, terutama bagi responden dengan riwayat trauma (Mean = 3,94). Namun di sisi lain, responden menunjukkan ketidakpuasan signifikan terhadap elemen sensorik, yang terbukti dari skor persepsi terendah pada pencahayaan (Mean = 2,19–2,56) dan warna (Mean = 2,27–2,48). Analisis lebih lanjut mengidentifikasi empat temuan krusial: (1) kondisi pencahayaan yang sangat redup (29–111 lux) menjadi akar utama ketidakpuasan; (2) persepsi terhadap warna memiliki korelasi statistik sangat kuat dengan pencahayaan (r = .743); (3) privasi akustik diidentifikasi sebagai kebutuhan absolut yang paling krusial (Mean = 4,98) namun tidak terpenuhi; dan (4) adanya diskrepansi persepsi antara pengguna dengan psikolog yang cenderung telah beradaptasi dengan kondisi ruang. Kebaruan penelitian ini terletak pada penggunaan pendekatan triangulasi data untuk mengungkap secara empiris adanya dikotomi persepsi antara fungsionalitas dengan sensorik dalam konteks ruang konseling di Indonesia yang spesifik bagi perempuan. Secara teoretis, penelitian ini menyumbangkan pemahaman kontekstual pada penerapan teori Healing Environment dan Gender-Sensitive Design di luar konteks budaya Barat. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan serangkaian rekomendasi desain berbasis bukti yang dapat diaplikasikan secara langsung, dengan prioritas utama pada perbaikan sistem kedap suara untuk menjamin privasi akustik dan implementasi sistem pencahayaan adaptif (adjustable lighting) untuk menjembatani kesenjangan persepsi antara pengguna dan praktisi, sehingga lingkungan fisik dapat berkontribusi secara optimal terhadap pengalaman terapi yang holistik.