Penelitian ini secara sistematis mengkaji bias dalam penilaian kinerja di sektor publik Indonesia, menemukan distorsi signifikan dalam desain, psikologis, dan politik yang berbeda dari praktik internasional terbaik. Masalah utamanya adalah "procedural fairness inertia," di mana karyawan secara tidak sadar menginternalisasi standar evaluasi yang meningkat sebagai tolak ukur keadilan normatif. Analisis kuantitatif mengungkapkan bahwa desain penilaian kinerja adalah prediktor terkuat, sementara faktor politik berdampak negatif pada pelaksanaan evaluasi, dan faktor psikologis berfungsi sebagai mekanisme kompensasi ketika keadilan institusional gagal. Budaya birokrasi Indonesia memoderasi strategi pengurangan bias konvensional, membuat banyak pendekatan internasional menjadi kontraproduktif. Kerangka teoritis terintegrasi menggabungkan teori keadilan organisasi dengan adaptasi keadilan budaya, teori atribusi, teori proses ganda, teori keterampilan politik, dan teori penetapan tujuan. Reformasi yang efektif membutuhkan implementasi berurutan yang mengakui kebutuhan adaptasi budaya, dengan fokus pada penetapan tujuan sebagai titik masuk strategis untuk reformasi. Penelitian ini berkontribusi pada teori manajemen kinerja dengan menunjukkan bagaimana kerangka kerja Barat yang mapan memerlukan kalibrasi budaya ketika diterapkan dalam konteks non-Barat, dan memberikan panduan transformatif untuk reformasi manajemen kinerja yang melampaui perbaikan teknis untuk mengatasi dinamika budaya dan organisasi yang kompleks.