Teks ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kinerja sektor publik di berbagai negara, didorong oleh tekanan untuk memberikan layanan berkualitas lebih baik dengan sumber daya yang terbatas. Reformasi sektor publik, yang bermula dari New Public Management (NPM), bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Meskipun ada upaya global untuk optimasi kinerja, banyak pemerintah menghadapi tantangan dalam mengembangkan dan menerapkan sistem pengukuran kinerja yang efektif, terutama di negara berkembang.
Studi ini bertujuan mengisi kesenjangan penelitian dengan berfokus pada Pemerintah Kabupaten Bantul di Indonesia sebagai studi kasus. Reformasi birokrasi di Indonesia dimulai pada tahun 1999, menekankan akuntabilitas kinerja melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Namun, implementasinya menghadapi kendala seperti tekanan institusional yang menyebabkan kepatuhan formal alih-alih perbaikan kinerja nyata, kurangnya integrasi antara perencanaan dan penganggaran, serta indikator kinerja dan data yang tidak akurat.
Sistem manajemen kinerja (PMS) Indonesia juga mengalami masalah seperti pemenuhan persyaratan pelaporan kinerja hanya untuk memenuhi kewajiban formal, dan kurangnya perbaikan kinerja yang signifikan meskipun sistem telah berjalan selama 20 tahun. Evaluasi menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintah daerah di Indonesia memiliki karakteristik unik, termasuk struktur organisasi berlapis tiga dan berbagai peran, yang membedakannya dari pemerintah daerah di negara lain. Ini menyiratkan bahwa solusi universal tidak mungkin berhasil dan PMS harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik organisasi.
Studi ini mengusulkan kerangka kerja PMS yang sesuai untuk konteks khusus pemerintah daerah Indonesia, alih-alih meniru kerangka kerja dari negara lain. Desain kerangka kerja PMS sektor publik memerlukan pertimbangan cermat terhadap berbagai faktor kontekstual, termasuk lingkungan eksternal organisasi. Studi sebelumnya telah membahas implementasi dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengadopsi indikator kinerja utama (KPI). Namun, tidak ada penelitian yang mendalami detail spesifik indikator kinerja dalam konteks pemerintah daerah dan bagaimana indikator ini diselaraskan secara vertikal dan horizontal.
Meskipun ada momentum global dalam mengadopsi sistem manajemen kinerja, masih ada kesenjangan penelitian substansial dalam mengembangkan kerangka kerja PMS yang peka terhadap konteks lokal negara-negara berkembang. Pemerintah daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda, seperti struktur administrasi berlapis, peran institusional yang beragam, dan kapasitas teknis yang terbatas, yang berbeda secara signifikan dari pengaturan sektor publik Barat tempat banyak model PMS yang ada berasal. Selain itu, praktik PMS saat ini di Indonesia seringkali menekankan kepatuhan daripada peningkatan kinerja, yang mengarah pada implementasi yang dangkal.
Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan kerangka kerja PMS yang baru dan berbasis kontekstual yang tidak hanya selaras dengan standar peraturan tetapi juga mengatasi realitas operasional dan dinamika institusional pemerintah daerah. Studi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan itu dengan mengusulkan kerangka kerja PMS integratif dan adaptif yang dirancang khusus untuk sistem tata kelola yang terdesentralisasi di Indonesia.
Mengingat kompleksitas dan saling keterkaitan isu-isu yang diuraikan di atas, penting untuk mengakui bahwa tidak ada pendekatan atau metodologi tunggal yang cukup untuk mengatasi tantangan yang melekat dalam manajemen kinerja sektor publik. Konteks Indonesia mewakili sistem sistem, yang terdiri dari beberapa subsistem seperti struktur administrasi, kerangka peraturan, jaringan pemangku kepentingan, dan infrastruktur informasi yang beroperasi secara bersamaan dan seringkali dengan tujuan yang saling bertentangan. Desain sistem PMS tersebut menggunakan kombinasi tinjauan literatur sistematis (SLR), metodologi sistem lunak (SSM), dan proses hierarki analitik (AHP) untuk memastikan bahwa kerangka kerja yang diusulkan berbasis kontekstual dan metodologis yang ketat.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan kerangka kerja PMS yang selaras dengan konteks khusus pemerintah daerah Indonesia. Tujuan ini meliputi desain kerangka kerja yang sesuai, identifikasi indikator kinerja di setiap tingkat organisasi, pembentukan keterkaitan antar indikator, dan klasifikasi indikator kinerja. Pertanyaan penelitian berfokus pada kriteria untuk PMS yang efektif dan berkelanjutan, kerangka kerja yang sesuai untuk negara berkembang, jenis indikator kinerja yang paling relevan, dan bagaimana prototipe PMS dapat dirancang untuk meningkatkan implementasi operasional. Studi ini mengadopsi perspektif filosofis pragmatis dan menggunakan pendekatan metode campuran, menggabungkan tinjauan literatur sistematis, metodologi sistem lunak, dan proses hierarki analitik.
Perbedaan utama antara penelitian ini dan yang lainnya meliputi (1) kurangnya penelitian sebelumnya tentang desain kerangka kerja PMS yang disesuaikan dengan pemerintah daerah di negara berkembang, (2) kurangnya penelitian tentang kriteria untuk sistem pengukuran kinerja yang dapat diterapkan pada pemerintah daerah, dan (3) kurangnya penelitian yang berfokus pada pemeriksaan rinci indikator kinerja dan saling keterkaitannya yang khusus untuk pemerintah daerah. Selain kontribusi di atas, studi ini menawarkan integrasi baru dari kerangka kerja IMPACT dan SMARTER.