Analisis dan pembahasan bab ini fokus pada delineasi zona perlindungan dan pemanfaatan air tanah di Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang. Delineasi zona perlindungan air tanah mempertimbangkan tekuk lereng, pola aliran sungai, kemunculan mata air, dan kedudukan muka air tanah. Elevasi tinggi pada peta kemiringan lereng, aliran sungai pendek dan lurus (orde rendah), hulu mata air, dan radius 200 meter dari mata air diidentifikasi sebagai daerah imbuhan air tanah. Penentuan prioritas aspek ini bersifat subjektif berdasarkan pertimbangan akademik karena belum ada pembobotan yang ditetapkan dalam Permen ESDM. Peta kemiringan lereng digunakan untuk mengidentifikasi daerah imbuhan, dimana kemiringan lereng tinggi (warna kuning, oranye, merah) mengindikasikan daerah imbuhan. Area kemiringan sedang (warna kuning) yang dikelilingi area kemiringan rendah dianggap sebagai daerah lepasan. Peta jaringan aliran sungai dari data DEM dan RBI dianalisis untuk mengidentifikasi aliran sungai pendek dan lurus serta sungai orde rendah sebagai indikator daerah imbuhan. Data DEM dan RBI saling melengkapi untuk mengakomodasi modifikasi antropogenik pada sungai. Peta hidrogeologi digunakan untuk mengidentifikasi bagian hulu mata air sebagai daerah imbuhan, dan zona perlindungan mata air ditetapkan dengan radius 200 meter dari titik mata air. Data kedalaman muka air tanah (MAT) tidak relevan untuk delineasi daerah imbuhan karena gangguan antropogenik yang mengubah kondisi MAT. Delineasi zona perlindungan mata air mencakup 62% wilayah CAT Bandung-Soreang, terdiri dari daerah imbuhan air tanah dan zona perlindungan mata air. Area yang tidak termasuk zona perlindungan dikategorikan sebagai zona pemanfaatan air tanah (38%). Teridentifikasi 36 sumur bor industri di zona perlindungan air tanah, meskipun ada regulasi yang melarang pengeboran di zona tersebut (PP No. 43 Tahun 2008 dan Perda Jabar No. 1 Tahun 2017), namun belum ada sanksi jelas. Zona pemanfaatan air tanah dianalisis lebih lanjut dengan menghitung tingkat kerusakan air tanah berdasarkan persentase penurunan MAT (h) terhadap ketebalan piezometrik (H). Kedalaman MAT (h) diperoleh dari data 699 titik sumur, yang datanya telah diperiksa dan dieliminasi yang tidak akurat atau tidak lengkap. Data diinterpolasi menggunakan metode topo to raster untuk merepresentasikan kedalaman MAT CAT Bandung-Soreang. Peta kedalaman MAT menunjukkan fenomena depresi air tanah di Cimahi, Bandung, dan Rancaekek, disebabkan oleh konsentrasi ekstraksi air tanah industri. Ketebalan piezometrik (H) dihitung dari selisih elevasi muka tanah (data DEM) dan muka akuifer (data penampang geologi). Identifikasi litologi akuifer dan akuiklud dilakukan pada penampang geologi untuk menentukan sistem akuifer (tertekan atau tak tertekan). Data kedalaman muka akuifer diinterpolasi untuk menghasilkan peta. Tingkat kerusakan air tanah dihitung menggunakan rumus h/H*100, diklasifikasikan menjadi zona aman, rawan, kritis, dan rusak. Zona pemanfaatan air tanah didominasi oleh zona rusak. Laju penurunan MAT rata-rata 1,58 meter/tahun, dengan beberapa area mencapai 20 meter/tahun (terutama di Cimahi). Peta konservasi air tanah menunjukkan adanya sumur ekstraksi di zona perlindungan air tanah yang mengancam fungsi hidrogeologis. Ekstraksi air tanah jangka panjang dapat menyebabkan penurunan MAT permanen. Pengawasan pemanfaatan air tanah yang direkomendasikan sebelumnya perlu diimplementasikan, termasuk penambahan sumur resapan, subtitusi sumber air, dan pemerataan ekstraksi air tanah industri. Pencatatan dan pelaporan kondisi MAT juga krusial untuk studi konservasi dan pengawasan ekstraksi air tanah.