Teks ini membahas pembangunan pulau terluar di Indonesia, khususnya Kabupaten Natuna, dengan fokus pada dominasi model pembangunan eksogen yang berasal dari pemerintah pusat. Model ini didasarkan pada pandangan bahwa wilayah pinggiran kepulauan sulit berkembang mandiri sehingga membutuhkan bantuan pusat. Pembangunan di Natuna difokuskan pada sektor perikanan melalui program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat dan ekspor. Namun, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, termasuk letak geografis yang terpencil, keterbatasan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia, dan masalah pengawasan yang memicu praktik ilegal seperti *illegal, unreported and unregulated fishing* (IUU Fishing). Selain itu, pembangunan eksogen ini berdampak sosial, termasuk kurangnya kesadaran berkomunitas, konflik antara nelayan lokal dan pendatang, serta ketidakadilan dalam distribusi pendapatan. Kekuasaan eksternal dari pemerintah pusat sangat dominan dalam perencanaan dan implementasi, didorong oleh faktor global seperti pemberantasan IUU Fishing dan sengketa wilayah laut dengan Cina, serta faktor nasional seperti visi poros maritim dan Nawa Cita. Aktor pengambil keputusan didominasi pemerintah pusat, dengan peran terbatas bagi pemerintah daerah dan masyarakat lokal.