DKI Jakarta merupakan provinsi yang sangat rentan terhadap banjir, dengan jumlah pengungsi mencapai ratusan ribu jiwa pada periode 2000-2014 dan kerugian yang terus meningkat. Sungai Ciliwung, sungai terbesar yang melintasi Jakarta, sering dianggap sebagai penyebab utama banjir.
Banjir di DAS Ciliwung biasanya disebabkan oleh luapan sungai akibat debit yang melebihi kapasitasnya. Debit maksimum Sungai Ciliwung tercatat mencapai 730 m3/detik pada tahun 1996. DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga sub-DAS: hulu, hilir, dan pesisir. Wilayah hulu memiliki pola aliran dendritik, sedangkan hilir dan pesisir memiliki pola paralel. Peningkatan pemukiman di hulu berkontribusi pada peningkatan debit. Wilayah hilir yang landai memiliki peran dalam mengurangi debit, tetapi juga rentan terhadap banjir.
Debit Sungai Ciliwung dipengaruhi oleh pola musiman dan diurnal curah hujan. Debit tertinggi terjadi pada Januari-Februari, dan terendah pada Juli-Agustus. Pola diurnal juga mempengaruhi debit.
Distribusi spasial curah hujan juga memainkan peran penting. Jika tinggi muka air (TMA) di stasiun Manggarai tinggi dan di Katulampa rendah, hujan terkonsentrasi di hilir, dan jika keduanya tinggi, hujan merata atau terkonsentrasi di hulu. Banjir tahun 1996 dan 2007 dipicu oleh hujan di hulu, sedangkan banjir 2002 dan 2013 dipicu oleh hujan di hilir.
Intensitas hujan dikategorikan menjadi ringan, sedang, lebat, dan sangat lebat. Hujan dengan intensitas tinggi dan distribusi spasial-temporal yang tidak merata merupakan faktor utama penyebab banjir di Ciliwung.
Pada tahun 1996, dua kejadian banjir dengan intensitas hampir sama memiliki distribusi spasial yang berbeda, menghasilkan dampak yang berbeda pula. Hujan lebat pada Januari 1996 terkonsentrasi di hulu, menghasilkan debit puncak yang lebih besar dibandingkan kejadian pada Februari 1996 yang terkonsentrasi di hilir.
Simulasi hidrologi menunjukkan bahwa penggunaan data curah hujan dan parameter hidrologi yang terdistribusi secara spasial menghasilkan debit puncak yang lebih akurat.
Kejadian banjir juga dipengaruhi oleh fenomena skala regional seperti monsun lintas ekuator, cold surge, dan borneo vortex, serta proses skala lokal seperti cold pool dan efek topografi.
Pada kejadian banjir 2007, pola diurnal hujan diamati, dengan aktivitas konveksi tinggi di pegunungan pada sore hari dan bergeser ke pantai pada malam hari.
Pada kejadian banjir 2013, awan konvektif berasal dari barat laut Pulau Jawa dan bergerak ke arah tenggara.
Distribusi hujan yang tidak merata dipengaruhi oleh kondisi cuaca skala sinoptik, seperti angin zonal dan Madden-Julian Oscillation (MJO).
Analisis hidrologi seringkali mengasumsikan curah hujan homogen, namun penelitian menunjukkan bahwa curah hujan pada kejadian ekstrem di DAS Ciliwung terdistribusi secara spasial dan temporal.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa selain volume hujan, distribusi spasial dan temporal curah hujan serta pergerakan hujan memiliki peranan terhadap karakteristik debit.
Karakteristik curah hujan yang berperan besar terhadap karakteristik debit adalah volume hujan, intensitas, durasi, serta arah dan kecepatan pergerakan hujan.
Analisis momen spasial digunakan untuk menganalisis organisasi spasial dan temporal curah hujan. Model hidrologi terdistribusi juga digunakan untuk mengetahui pengaruh distribusi spasial temporal curah hujan terhadap banjir.
Hujan yang bergerak ke arah hilir akan memiliki waktu peningkatan debit yang lebih cepat, namun dengan debit puncak yang lebih kecil, dan durasi peningkatan debit yang lebih lama dibandingkan dengan hujan yang bergerak ke arah hulu.
Keterbatasan data curah hujan menjadi hambatan dalam analisis karakteristik curah hujan. Sebagian besar hujan bergerak menyebabkan variabilitas curah hujan secara spasial dan temporal.
Pada kejadian hujan lebat yang terjadi pada Januari dan Februari 1996, terdapat perbedaan konsentrasi distribusi hujan dan menghasilkan respons DAS yang berbeda.
Penelitian-penelitian terdahulu belum menganalisis secara lengkap hubungan antara distribusi spasial hujan terhadap debit maupun tingkat peranan distribusi spasial tersebut dibandingkan karakteristik curah hujan lainnya.
Keberadaan sistem hujan yang bergerak yang memicu variasi spasial dan temporal intensitas curah hujan telah dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan pada tiga kejadian banjir Januari 2002, Februari 2007, dan Januari 2013.
Farid dkk. 2012 melakukan simulasi dengan model hidrologi terdistribusi untuk mengetahui dampak dari penggunaan data curah hujan yang terdistribusi secara spasial.
Sulistyowati dkk. 2014 menyebutkan adanya siklus diurnal dari TMA yang disebabkan oleh siklus diurnal curah hujan.
Penelitian ini menunjukkan peranan distribusi spasial dan temporal dari curah hujan walaupun masih terbatas pada beberapa kasus tertentu dan tidak diketahui seberapa besar peranannya.
Oleh karena itu penting untuk dikaji lebih lanjut peranan distribusi intensitas hujan baik secara spasial maupun temporal terhadap debit sungai Ciliwung.